Minggu, 26 Maret 2017

PENGERTIAN DARI NASIKH MANSUKH

BAB I
            A. Latar Belakang
Al-Qur’an  adalah kita suci yang diturunkan oleh Allah saw sebagai petunjuk umat manusia di muka bumi. Karena Al-Qur’an merupakan sumber hukum, norma dan nilai dalam islam. Maka dari itu kita harus mengetahui kronologi yang ada di dalam Al-Qur’an seperti naskh mansukh dalam Al-Qur’an. Didalam menentukan nasikh mansukh Al-Qur’an ternyata didalam prosesnya itu mengalami berbagai pro dan kontra yang terjadi antar ulama.
 Perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Adapun Ulama yang mau menerima nasikh mansukh dalam Al-Qur’an yaitu semisal Imam Syafi’i, sedangkan ulama yang menolak adanya nasik mansukh dalam Al-Qur’an yaitu seperti Abu Muslim al-Ashfihani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Dr. Taufiq Shidqi dan Utstad al-Khudari.
            B. Rumusan Masalah
Apa pengertian dari nasikh mansukh ?
Bagaimana prokontra dalam menentukan nasikh mansukh ?
Apa syarat dan mancam-macam nasik mansukh dalam Al-Qur’an ?
            C. Tujuan
Untuk mengetahui apa yang dimaksud nasik mansuk.
Untuk mengetahui prokontra yang terjadi antar ulama dalam menetukan nasikh mansuk.
Untu mengetahui apa saja syarat-syarat nasikh mansukh dan macam-macam nasikh mansukh dalam Al-Qur’an.





Secara etimologi nasikh mansukh berasal dari kata nasakha-yansukhu-naskhun, yang dalam bentuk mashar, naskhun adalah al-izalah yang berarti menghilangkan segala sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya. Kata naskhjuga digunakan sebagai pengertian memindahkan atau menghilangkan segala sesuatu dari suatu tempat ketempat yang lain tanpa menghilangkan subtansinya itu sendiri atau yang asli. Maka dengan demikian nasikh mansukh adalah menghilangkan atau mengubah sesuatu dari sesuatu tanpa mengubah subtansinya itu sendiri, seperti memindahkan catatan yang ada dibuku ke tempat lain atau disebut juga menyalin.
Naskh dalam pandangan pakar tafsir yaitu menurut Quraish Shihab memandang naskh lebih cenderung kepada pengertian tabdil atau makna tabdil, karena menurut beliau menganggap pengertian atau maksud dari tabdil dapat meningkatkan pengertian hukum dari makna sebelumnya atau makna aslinya kemakna yang kemudiannya atau sesudahnya, yang berdasarakan kepada kebutuhan situasional yang ada.
Ia mengatakan : “Kesemua yang ada didalam ayat suci Al-Qur’an tidak ada yang kontradiksi. Namun yang ada adalah hanya pergantian hukum-hukum bagi masyarakat atau bagi orang tertentu, karena perbedaan situasi dan kondisi yang berbeda. Maka jika ayat tidak berlaku baginya, namun bisa juga tetap berlaku bagi orang lain yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sama pada mereka.
Sedangkan menurut pengertian naskh yang pertama yang berati menghilangkan dan meniadakannya yang mempunyai akibat raf’i al-hukum asy-syar’i bi dalil asy-syar’i. Maksudnya hukum yang dibawa dalil pertama sama sekali dihapus atau ditiadakan oleh kedatangan dalil yang kedua. Sementara apabila dalil yang kedua digunakan atau dipakai (memindah atau merubahnya/takwil), yang akibatnya hukum yang dibawa oleh dalil pertama maka sifatnya itu non aktif. Maksud dari non aktif disini adalah subtansi hukumnya tetap, akan tetapi di tawaqqufkan untuk sementara waktu, karena ada hukum kedua yang lebih sesuai dengan kebutuhan situasionalnya.




Nask dilihat dalam pengertian al-izalah terdapat dalam Surah Al-Hajj 52:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Hajj 22:52) [1].

Nask dalam pengertian memindah atau menyalin sesuatu dari tempat ke suatu tempat lain, didalam Al-Qur’an ditemukan dalam Surah Jatsiyah:29.
“(Allah berfirman): “Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh menyalin apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S.Al-Jatsiyah 45:29)
Yang dimaksud dari kata menyalin tersebut adalah memindahkan segala amal perbuatan yang telah dilakukan ke dalam lembaran-lembaran amal.
Dalam menentukan sebuah nasikh mansukh pastilah begitu banyak pro kontra yang terjadi dikalang para ulama. Perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Adapun Ulama yang mau menerima nasikh mansukh dalam Al-Qur’an yaitu semisal Imam Syafi’i, sedangkan ulama yang menolak adanya nasik mansukh dalam Al-Qur’an yaitu seperti Abu Muslim al-Ashfihani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Dr. Taufiq Shidqi dan Utstad al-Khudari. Adapun ulama yang menyetujui naskh mendasarkan pendapatkan pada firman Allah:
Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’i telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
 Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak.

Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(Q.S. An-Nahl: 101)
QS. Al-Baqarah:106:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(Q.S. Baqarah:106).
 Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat: 42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya yang diturunkan dari Rabb yang Maha Terpuji.(Q.S. Fushilat:42)
Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di Firmankan-Nya.
Para Ulama yang menerima tentang adanya nasikh mansukh Al-Qur’an dalam penerimaannya mereka memiliki kadar penerimaan yang berbeda-beda tergantung masing-masing kadar yang mereka miliki dalam memutuskan untuk menerima nasikh mansukh
Dalam memutuskan nasikh mansukh ada yang mudah memutuskan atau menetapkan nasikh bagi ayat-ayat yang terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) tanpa adanya usaha untuk memastikan bahwa ta’arudh itu sifatnya hakiki atau tidak, sehingga tidak bisa lagi dikompromikan lagi sama sekali. Maka dengan demikian nasikh mansukh dalam Al-Quran yang ayat-ayatnya dinaskh sangatlah banyak sekali.
As-Suyuthi dalam al-Itqan mengutip pendapat bahwa surat-surat yang di dalamnya ada nasikh dan mansukh ada 25 Surat. Surat-surat yang ada nasikh saja ada 6 Surat, yang ada mansukh saja ada 40 Surat. Berarti hanya 43 Surat yang tidak ada nasikh atau mansukhnya.
As-Suyuthi memberikan contoh-contoh naskh dalam beberapa Surah, antara lain sebagai berikut:
Surat Al-Baqarah 184 mansukhah dengan Al-Baqarah 185:
“..dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin..”(Q.S. Al-Baqarah 2:184).

“...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,,,”(Q.S. Al-Baqarah 2:185).
Surat Al-Baqarah 217 mansukhah dengan At-Taubah 36:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu dosa besar..”(Q.S. Al-Baqarah 217).

“...dan pergilah kaum itu semuanya..” (Q.S. At-Taubah 9: 36).
Surat Al-Baqarah 284 mansukhah dengan Al-Baqarah 286:
“..dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu.”(Q.S. Al-Baqarah 2:284).

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..”(Q.S. Al-Baqarah 2:286).


Surat Ali ‘Imran 102 mansukhah dengan Surah At-Taghabun 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam..”(Q.S. Ali ‘Imran 3:102).

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(Q.S. At-Taghabun 64:16).
Dari contoh di atas maka jelaslah bahwa ulama terlalu mudah dalam menggambil keputusan untuk mengnaskh mansukhah Al-Qur’an tanpa sebelumnya menyelidiki terlebih dahulu apakah ada ta’arudh haqiqi antara kedua ayat yang di naskh mansukhah. Semisal dari ayat Ali ‘Imran:102 yang berisi agar manusia di muka bumi ini bertaqwa yang sifatnya umum, sedangkan ayat At-Taghabun:16 berisi kententuan agar manusia di muka bumi ini bertaqwa yang sifatnya khusus, apabila tidak bisa bertaqwa sepenuhnya. Dari kedua ayat tersebut merupaka belum bisa memenuhi syarat untuk dinyatakan nasikh mansukh, sebab dari kedua ayat tersebut tidak benar-benar bertentangan.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha bahwa ayat tersebut tidaklah ada pertentangan antara ayat keduanya apabila berusaha untuk dipahami secara lebih mendalam. Kedua ayat tersebut tidak mengalami pertentangan sebab ayat tersebut memerintahkan bahwa manusia di muka bumi ini untuk bisa berusaha sebisa mungkin bersunguh-sungguh bertaqwa,  sehingga tidak meninggalkan sedikitpun usaha yang dapat dilakukan.
Meskipun telah terjadi kesepatan bahwa naskh hanya terjadi pada zaman Nabi, namun para ulama memberi persyaratan terhadap ayat yang menjadi nasikhah maupun mansukhah, sehingga sangat terkesan seolah-olah naskh tetap berlangsung sepanjang zaman.
Adapun syarat-syarat yang dimaksud antara lain yang harus dipenuhi yaitu:
Hukum yang dihapus berupa hukum syar’i.
Dalil yang menghapuskan hukum berupa dalil syar’i.
Dalil yang menghapus (nasikhah) turun lebih akhir daripada hukum yang hapus.
Hukum yang dihapuskan/tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adanya pertentangan yang jelas antara kedua dalil tersebut.

Dalam nasikh mansukh ini banyak yang memiliki berbagai perbedaan pendapat dari macam-macam naskh masukh dalam Al-Qur’anada yang berpendapat bahwa macam-macam naskh yang menyebutkan ada tiga macam, dan ada juga yang menyebutkan empat macam.
Apabila dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya, naskah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam, sedangkan dari segi keberadaan ayat dan hukumnya, naskh mansukh dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam.
Dilihat dari kejelasan dan cakupannya, naskah dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi empat yaitu:
Nasakh Sharih, yaitu suatu ayat yang secara jelas menghapuskan hukum yang ada di dalam ayat yang terdahulu. Contohnya yaitu seperti ayat perang yang mengharuskan 1:10 antara Muslim melawan kafir, Lalu kemudian dinaskh dengan ayat yang hanya mengharuskan 1:2  dalam menangani masalah yang sama. (Q.S. Al-Anfal[8] : 65-66).
Nasakh Dlimmy, yaitu suatu ayat dimana bila ayat yang ketentuan hukumnya bertentangan dengan hukum yang terdapat terdahulu yang tidak dapat dikompromikan, maka ayat yang akan datang kemudian menaskh ayat yang terdahulu. Contohnya ayat tentang wajibnya wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
Nasakh Kully, yaitu menaskh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya yaitu tentang adanya ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yang dinaskh dengan hanya beriddah 4 bulan 10 hari. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 240-243.
Nasakh Juz’iy, yaitu menasakh hukum umum yang mencangkup dari semua individu dengan hukum yang hanya mencakup sebahagia individu, atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyah. Contohnya ada seseorang yang menuduh seorang perempuan atau wanita dengan tuduhan zina, tanpa adanya menghadirkan 4 saksi maka hukumnya didera 80 kali (Q.S. An-Nur [24]:4). Lalu ayat ini dinaskh dengan ayat yang menjelaskan bahwa jika si penuduh itu ternyata suaminya, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling bersumpah (mula’anah) antara keduanya.(Q.S. An-Nur [24]:6).
Sedangkan menurut Dr. Quraish Shihab, beliau menolak akan adanya ta’arud haqiqi yang ada di dalam Al-Qur’an. Sebab menurut beliau bahwa semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an masih berlaku baik tilawahnya maupun dari hukumnya. Dari pendapat ini dikemukakan untuk membantah pendapat-pendapat yang menyatakan nasikh mansukh dibagi menjadi tiga macam bagian.
Ditinjau dari segi keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh mansukh dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
Nasakh tilawah dan hukumnya sekaligus (bersama-sama). Seperti yang diriwayatkan Aisyah ra (menurut setengah pengamat hadis ini maudlu’).
Yang dinasikh hukumnya saja sedangkan tilawahnya itu tetap (tidak dinaskhkan). Seperti pada ayat Al-Mujadalah ayat 12 dinaskh oleh Al-Mujadalah ayat 13, lalu pada surat Al-Baqarah ayat 184 dinaskh oleh Al-Baqarah [2] ayat 185.
Yang dinasakhkan tilawahnya bukan dari segi hukumnya, seperti pada ayat rajam. Namun Dr. Quraish mengatakan bahwa ayat rajam itu merupakan ayat rajam itu tidak ta’arud, karena ayat Nasikh terlebih dahulu daripada ayat Mansukh.
Dalam realita naskh dalam Al-Qur’an setidaknya terdapat dua ayat yang dipandang oleh jumhur ulama sebagai dasar legitimasi eksistensi naskh di dalam Al-Qur’an. Ayat dimaksud oleh ulama jumhur adalah An-Nahl 101 dan surat Al-Baqarah 106 yaitu :
“ Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(Q.S. An-Nahl [16]:39.

مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]

“Ayat mana saja yang kami Nasakhkan, maka Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas sesuatu?”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 106.
Adapun yang menjadi tumpuan atau menjadi sebuah pijakan rasional untuk bisa mengakui akan adanya naskh di dalam Al-Qur’an yaitu adanya pertentangan antara para sahir satu dengan sahir yang lain tentang sebuah ayat. Ayat yang dipertentangkan salah satunya menjadi mansukhah (yang dihapus), apabila ayat itu turun terlebih dahulu, sedangkan ayat yang turunnya kemudian menjadikan ayat tersebut menjadi ayat nasikhah (penghapus).
Sementara itu masih juga bermunculan pertentang seperti menurut An-Nahas menyatakan bahwa ada seratus ayat yang mansukhah karena ada pertentangan pada ayat satu dengan yang lainnya. Sedangkan menurut As-Sayuthi, mengatakan pandangannya ada sekitar dua puluh ayat saja yang tidak dapat dikompromikan lagi. Namun menurut Asy-Syaukani, mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa hanya ada 8 ayat saja yang tidakbisa dikompromikan yang ada di dalam Al-Qur’an, setelah bisa berhasil mentaufiqkan dua belas ayat dari dua puluh ayat yang dianggap mengalami pertentangan oleh As-Suyuti.


Dalam mempelajari kajian nasik mansukh ini sangatlah penting, karena dengan adanya kajian nasikh mansukh ini akan memberikan gambaran kepada kita akan adanya berbagai pendapat yang bermunculan dalam menentukan nasikh mansukh ternyata tidak semudah yang terlihat. Namun dibalik itu banyak sekali yang harus diketahui tentang nasikh mansukh supaya kita bisa lebih tau tentang bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus yang mengalami pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, dan tidak ada cara penyelesaiannya maka haruslah dengan menyelidiki kronologi turunya yang mana terlebih dahulu turun dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga dengan cara itu kita mampu mengetahui yang mana nasikh dan yang mana mansukh.
Diriwayatkan pada suatu hari Ali bin Abi Thalib masuk dalam masjid dan beliau menemukan seseorang yang sedang mengisi tausiyah di dalam masjid tersebut dihadapan  banyak orang yang ada di dalam masjid, lalu Ali bin Abi Thalib bertanya kepada orang tersebut “Apakah kamu tahu tentang apa itu nasikh mansukh?” dan orang tersebut menjawab tidak tahu, maka Ali bin Abi Thalib menyuruh orang tersebut untuk pergi sekaligus melarang supaya ia tidak lagi memberi tausiyah lagi. Dan juga beliau juga pernah bertanya kepada seorang qadhi “Apakah kamu tahu tentang nasikh mansukh?” lalu dijawab tidah tahu, beliau langsung mengatakan kepadanya “Engkau telah binasa dan membinasakan orang lain.”
Dengan adanya nasikh mansukh  menunjukkan kepada umat Islam bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan umatnya, dan untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukumnya, serta untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan Allah SAW. 




Nasik mansukh merupakan menghilangkan atau mengubah sesuatu dari sesuatu tanpa mengubah subtansinya itu sendiri, seperti memindahkan catatan yang ada dibuku ke tempat lain atau disebut juga menyalin. Dalam menentukan sebuah nasikh mansukh terjadi perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Namun dalam pertentangan para Ulama yang menerima tentang adanya nasikh mansukh Al-Qur’an dalam penerimaannya mereka memiliki kadar penerimaan yang berbeda-beda tergantung masing-masing kadar yang mereka miliki dalam memutuskan untuk menerima nasikh mansukh.
Adapun syarat-syarat yang dimaksud antara lain yang harus dipenuhi yaitu:
Hukum yang dihapus berupa hukum syar’i.
Dalil yang menghapuskan hukum berupa dalil syar’i.
Dalil yang menghapus (nasikhah) turun lebih akhir daripada hukum yang hapus.
Hukum yang dihapuskan/tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adanya pertentangan yang jelas antara kedua dalil tersebut.





Didin Saefuddin Buchori,Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an,Bogor:Granada Sarana Pustaka,2005.
Prof. Dr. H. Yunahara Ilyas, Lc., MA,Kuliah Ulumul Qur’an,Yogyakarta:ITQAN Publishing.2013
http://Mambaulhikam.blogspot.co.id/2012/03/makalah-ulumul-qur’an-nasikh-mansukh.




[1] Prof. Dr.H. Yunahar Ilyas . Lc.,MA,2013,Kuliah Ulumul Qur’an , Yogyakarta:ITQAN Publishing.hlm.173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar