BAB I
Al-Qur’an adalah kita suci
yang diturunkan oleh Allah saw sebagai petunjuk umat manusia di muka bumi.
Karena Al-Qur’an merupakan sumber hukum, norma dan nilai dalam islam. Maka dari
itu kita harus mengetahui kronologi yang ada di dalam Al-Qur’an seperti naskh
mansukh dalam Al-Qur’an. Didalam menentukan nasikh mansukh Al-Qur’an ternyata
didalam prosesnya itu mengalami berbagai pro dan kontra yang terjadi antar
ulama.
Perbedaan yang terjadi di
kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam
tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh
mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an.
Adapun Ulama yang mau menerima nasikh mansukh dalam Al-Qur’an yaitu semisal
Imam Syafi’i, sedangkan ulama yang menolak adanya nasik mansukh dalam Al-Qur’an
yaitu seperti Abu Muslim al-Ashfihani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Dr. Taufiq
Shidqi dan Utstad al-Khudari.
Apa pengertian
dari nasikh mansukh ?
Bagaimana
prokontra dalam menentukan nasikh mansukh ?
Apa syarat dan
mancam-macam nasik mansukh dalam Al-Qur’an ?
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud nasik mansuk.
Untuk
mengetahui prokontra yang terjadi antar ulama dalam menetukan nasikh mansuk.
Untu mengetahui
apa saja syarat-syarat nasikh mansukh dan macam-macam nasikh mansukh dalam
Al-Qur’an.
Secara etimologi nasikh mansukh berasal dari kata
nasakha-yansukhu-naskhun, yang dalam bentuk mashar, naskhun adalah al-izalah
yang berarti menghilangkan segala sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya.
Kata naskhjuga digunakan sebagai pengertian memindahkan atau menghilangkan
segala sesuatu dari suatu tempat ketempat yang lain tanpa menghilangkan
subtansinya itu sendiri atau yang asli. Maka dengan demikian nasikh mansukh
adalah menghilangkan atau mengubah sesuatu dari sesuatu tanpa mengubah
subtansinya itu sendiri, seperti memindahkan catatan yang ada dibuku ke tempat
lain atau disebut juga menyalin.
Naskh dalam pandangan pakar tafsir yaitu menurut Quraish Shihab
memandang naskh lebih cenderung kepada pengertian tabdil atau makna tabdil,
karena menurut beliau menganggap pengertian atau maksud dari tabdil dapat
meningkatkan pengertian hukum dari makna sebelumnya atau makna aslinya kemakna
yang kemudiannya atau sesudahnya, yang berdasarakan kepada kebutuhan
situasional yang ada.
Ia mengatakan : “Kesemua yang ada didalam ayat suci Al-Qur’an tidak
ada yang kontradiksi. Namun yang ada adalah hanya pergantian hukum-hukum bagi
masyarakat atau bagi orang tertentu, karena perbedaan situasi dan kondisi yang
berbeda. Maka jika ayat tidak berlaku baginya, namun bisa juga tetap berlaku
bagi orang lain yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sama pada mereka.
Sedangkan menurut pengertian naskh yang pertama yang berati
menghilangkan dan meniadakannya yang mempunyai akibat raf’i al-hukum asy-syar’i
bi dalil asy-syar’i. Maksudnya hukum yang dibawa dalil pertama sama sekali
dihapus atau ditiadakan oleh kedatangan dalil yang kedua. Sementara apabila
dalil yang kedua digunakan atau dipakai (memindah atau merubahnya/takwil), yang
akibatnya hukum yang dibawa oleh dalil pertama maka sifatnya itu non aktif.
Maksud dari non aktif disini adalah subtansi hukumnya tetap, akan tetapi di
tawaqqufkan untuk sementara waktu, karena ada hukum kedua yang lebih sesuai
dengan kebutuhan situasionalnya.
Nask dilihat
dalam pengertian al-izalah terdapat dalam Surah Al-Hajj 52:
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang
nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Hajj 22:52) [1].
Nask dalam
pengertian memindah atau menyalin sesuatu dari tempat ke suatu tempat lain,
didalam Al-Qur’an ditemukan dalam Surah Jatsiyah:29.
“(Allah
berfirman): “Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan
benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh menyalin apa yang telah kamu kerjakan”.
(Q.S.Al-Jatsiyah 45:29)
Yang
dimaksud dari kata menyalin tersebut adalah memindahkan segala amal perbuatan
yang telah dilakukan ke dalam lembaran-lembaran amal.
Dalam
menentukan sebuah nasikh mansukh pastilah begitu banyak pro kontra yang terjadi
dikalang para ulama. Perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu
tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di
antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit
yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Adapun Ulama yang mau
menerima nasikh mansukh dalam Al-Qur’an yaitu semisal Imam Syafi’i, sedangkan
ulama yang menolak adanya nasik mansukh dalam Al-Qur’an yaitu seperti Abu
Muslim al-Ashfihani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Dr. Taufiq Shidqi dan Utstad
al-Khudari. Adapun ulama yang menyetujui naskh mendasarkan pendapatkan pada
firman Allah:
Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’i telah terjadi.
Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar
hukum yang mereka pakai adalah :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak.
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak.
Adanya
Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
Dalam Qur’an
surat an-Nahl : 101
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا
إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101]
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(Q.S.
An-Nahl: 101)
QS.
Al-Baqarah:106:
مَا نَنْسَخْ
مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
“Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(Q.S.
Baqarah:106).
Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak.
Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh
mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman
pada QS. Fushilat: 42
لَا يَأْتِيهِ
الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ
حَمِيدٍ [فصلت/42]
“Yang tidak
datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya
yang diturunkan dari Rabb yang Maha Terpuji.(Q.S. Fushilat:42)
Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan.
Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh
mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan
demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di Firmankan-Nya.
Para Ulama yang menerima tentang adanya nasikh mansukh Al-Qur’an
dalam penerimaannya mereka memiliki kadar penerimaan yang berbeda-beda
tergantung masing-masing kadar yang mereka miliki dalam memutuskan untuk
menerima nasikh mansukh
Dalam memutuskan nasikh mansukh ada yang mudah memutuskan atau
menetapkan nasikh bagi ayat-ayat yang terlihat adanya pertentangan (ta’arudh)
tanpa adanya usaha untuk memastikan bahwa ta’arudh itu sifatnya hakiki atau tidak,
sehingga tidak bisa lagi dikompromikan lagi sama sekali. Maka dengan demikian
nasikh mansukh dalam Al-Quran yang ayat-ayatnya dinaskh sangatlah banyak
sekali.
As-Suyuthi dalam al-Itqan mengutip pendapat bahwa surat-surat yang
di dalamnya ada nasikh dan mansukh ada 25 Surat. Surat-surat yang ada nasikh
saja ada 6 Surat, yang ada mansukh saja ada 40 Surat. Berarti hanya 43 Surat
yang tidak ada nasikh atau mansukhnya.
As-Suyuthi
memberikan contoh-contoh naskh dalam beberapa Surah, antara lain sebagai berikut:
Surat
Al-Baqarah 184 mansukhah dengan Al-Baqarah 185:
“..dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin..”(Q.S. Al-Baqarah
2:184).
“...Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,,,”(Q.S. Al-Baqarah 2:185).
Surat
Al-Baqarah 217 mansukhah dengan At-Taubah 36:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang
dalam bulan itu dosa besar..”(Q.S. Al-Baqarah 217).
“...dan
pergilah kaum itu semuanya..” (Q.S. At-Taubah 9: 36).
Surat
Al-Baqarah 284 mansukhah dengan Al-Baqarah 286:
“..dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu.”(Q.S.
Al-Baqarah 2:284).
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..”(Q.S. Al-Baqarah
2:286).
Surat Ali
‘Imran 102 mansukhah dengan Surah At-Taghabun 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam..”(Q.S. Ali ‘Imran 3:102).
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(Q.S. At-Taghabun 64:16).
Dari contoh di atas maka jelaslah bahwa ulama terlalu mudah dalam
menggambil keputusan untuk mengnaskh mansukhah Al-Qur’an tanpa sebelumnya
menyelidiki terlebih dahulu apakah ada ta’arudh haqiqi antara kedua ayat yang
di naskh mansukhah. Semisal dari ayat Ali ‘Imran:102 yang berisi agar manusia
di muka bumi ini bertaqwa yang sifatnya umum, sedangkan ayat At-Taghabun:16
berisi kententuan agar manusia di muka bumi ini bertaqwa yang sifatnya khusus,
apabila tidak bisa bertaqwa sepenuhnya. Dari kedua ayat tersebut merupaka belum
bisa memenuhi syarat untuk dinyatakan nasikh mansukh, sebab dari kedua ayat
tersebut tidak benar-benar bertentangan.
Sedangkan
menurut Rasyid Ridha bahwa ayat tersebut tidaklah ada pertentangan antara ayat
keduanya apabila berusaha untuk dipahami secara lebih mendalam. Kedua ayat
tersebut tidak mengalami pertentangan sebab ayat tersebut memerintahkan bahwa
manusia di muka bumi ini untuk bisa berusaha sebisa mungkin bersunguh-sungguh
bertaqwa, sehingga tidak meninggalkan
sedikitpun usaha yang dapat dilakukan.
Meskipun
telah terjadi kesepatan bahwa naskh hanya terjadi pada zaman Nabi, namun para
ulama memberi persyaratan terhadap ayat yang menjadi nasikhah maupun mansukhah,
sehingga sangat terkesan seolah-olah naskh tetap berlangsung sepanjang zaman.
Adapun
syarat-syarat yang dimaksud antara lain yang harus dipenuhi yaitu:
Hukum yang
dihapus berupa hukum syar’i.
Dalil yang
menghapuskan hukum berupa dalil syar’i.
Dalil yang
menghapus (nasikhah) turun lebih akhir daripada hukum yang hapus.
Hukum yang
dihapuskan/tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adanya
pertentangan yang jelas antara kedua dalil tersebut.
Dalam nasikh mansukh ini banyak yang memiliki berbagai perbedaan pendapat
dari macam-macam naskh masukh dalam Al-Qur’anada yang berpendapat bahwa
macam-macam naskh yang menyebutkan ada tiga macam, dan ada juga yang
menyebutkan empat macam.
Apabila
dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya, naskah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi
empat macam, sedangkan dari segi keberadaan ayat dan hukumnya, naskh mansukh
dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam.
Dilihat dari
kejelasan dan cakupannya, naskah dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi empat
yaitu:
Nasakh
Sharih, yaitu suatu ayat yang secara jelas menghapuskan hukum yang ada di dalam
ayat yang terdahulu. Contohnya yaitu seperti ayat perang yang mengharuskan 1:10
antara Muslim melawan kafir, Lalu kemudian dinaskh dengan ayat yang hanya
mengharuskan 1:2 dalam menangani masalah
yang sama. (Q.S. Al-Anfal[8] : 65-66).
Nasakh
Dlimmy, yaitu suatu ayat dimana bila ayat yang ketentuan hukumnya bertentangan
dengan hukum yang terdapat terdahulu yang tidak dapat dikompromikan, maka ayat
yang akan datang kemudian menaskh ayat yang terdahulu. Contohnya ayat tentang
wajibnya wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
Nasakh
Kully, yaitu menaskh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya
yaitu tentang adanya ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya, yang dinaskh dengan hanya beriddah 4 bulan 10
hari. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 240-243.
Nasakh
Juz’iy, yaitu menasakh hukum umum yang mencangkup dari semua individu dengan
hukum yang hanya mencakup sebahagia individu, atau menasakh hukum yang bersifat
mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyah. Contohnya ada seseorang yang
menuduh seorang perempuan atau wanita dengan tuduhan zina, tanpa adanya
menghadirkan 4 saksi maka hukumnya didera 80 kali (Q.S. An-Nur [24]:4). Lalu
ayat ini dinaskh dengan ayat yang menjelaskan bahwa jika si penuduh itu
ternyata suaminya, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling bersumpah
(mula’anah) antara keduanya.(Q.S. An-Nur [24]:6).
Sedangkan
menurut Dr. Quraish Shihab, beliau menolak akan adanya ta’arud haqiqi yang ada
di dalam Al-Qur’an. Sebab menurut beliau bahwa semua ayat yang ada didalam
Al-Qur’an masih berlaku baik tilawahnya maupun dari hukumnya. Dari pendapat ini
dikemukakan untuk membantah pendapat-pendapat yang menyatakan nasikh mansukh dibagi
menjadi tiga macam bagian.
Ditinjau
dari segi keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh mansukh dalam Al-Qur’an dapat
dibagi menjadi tiga yaitu:
Nasakh
tilawah dan hukumnya sekaligus (bersama-sama). Seperti yang diriwayatkan Aisyah
ra (menurut setengah pengamat hadis ini maudlu’).
Yang
dinasikh hukumnya saja sedangkan tilawahnya itu tetap (tidak dinaskhkan).
Seperti pada ayat Al-Mujadalah ayat 12 dinaskh oleh Al-Mujadalah ayat 13, lalu
pada surat Al-Baqarah ayat 184 dinaskh oleh Al-Baqarah [2] ayat 185.
Yang
dinasakhkan tilawahnya bukan dari segi hukumnya, seperti pada ayat rajam. Namun
Dr. Quraish mengatakan bahwa ayat rajam itu merupakan ayat rajam itu tidak
ta’arud, karena ayat Nasikh terlebih dahulu daripada ayat Mansukh.
Dalam
realita naskh dalam Al-Qur’an setidaknya terdapat dua ayat yang dipandang oleh
jumhur ulama sebagai dasar legitimasi eksistensi naskh di dalam Al-Qur’an. Ayat
dimaksud oleh ulama jumhur adalah An-Nahl 101 dan surat Al-Baqarah 106 yaitu :
“
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata:” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.(Q.S. An-Nahl [16]:39.
مَا نَنْسَخْ
مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
“Ayat
mana saja yang kami Nasakhkan, maka Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas sesuatu?”. (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 106.
Adapun
yang menjadi tumpuan atau menjadi sebuah pijakan rasional untuk bisa mengakui
akan adanya naskh di dalam Al-Qur’an yaitu adanya pertentangan antara para
sahir satu dengan sahir yang lain tentang sebuah ayat. Ayat yang
dipertentangkan salah satunya menjadi mansukhah (yang dihapus), apabila ayat
itu turun terlebih dahulu, sedangkan ayat yang turunnya kemudian menjadikan
ayat tersebut menjadi ayat nasikhah (penghapus).
Sementara
itu masih juga bermunculan pertentang seperti menurut An-Nahas menyatakan bahwa
ada seratus ayat yang mansukhah karena ada pertentangan pada ayat satu dengan
yang lainnya. Sedangkan menurut As-Sayuthi, mengatakan pandangannya ada sekitar
dua puluh ayat saja yang tidak dapat dikompromikan lagi. Namun menurut
Asy-Syaukani, mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa hanya ada 8 ayat saja yang
tidakbisa dikompromikan yang ada di dalam Al-Qur’an, setelah bisa berhasil
mentaufiqkan dua belas ayat dari dua puluh ayat yang dianggap mengalami
pertentangan oleh As-Suyuti.
Dalam mempelajari kajian nasik mansukh ini sangatlah penting,
karena dengan adanya kajian nasikh mansukh ini akan memberikan gambaran kepada
kita akan adanya berbagai pendapat yang bermunculan dalam menentukan nasikh
mansukh ternyata tidak semudah yang terlihat. Namun dibalik itu banyak sekali
yang harus diketahui tentang nasikh mansukh supaya kita bisa lebih tau tentang
bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus yang mengalami pertentangan antara
ayat yang satu dengan ayat yang lain, dan tidak ada cara penyelesaiannya maka
haruslah dengan menyelidiki kronologi turunya yang mana terlebih dahulu turun
dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga dengan cara itu kita mampu
mengetahui yang mana nasikh dan yang mana mansukh.
Diriwayatkan pada suatu hari Ali bin Abi Thalib masuk dalam masjid
dan beliau menemukan seseorang yang sedang mengisi tausiyah di dalam masjid
tersebut dihadapan banyak orang yang ada
di dalam masjid, lalu Ali bin Abi Thalib bertanya kepada orang tersebut “Apakah
kamu tahu tentang apa itu nasikh mansukh?” dan orang tersebut menjawab tidak
tahu, maka Ali bin Abi Thalib menyuruh orang tersebut untuk pergi sekaligus
melarang supaya ia tidak lagi memberi tausiyah lagi. Dan juga beliau juga
pernah bertanya kepada seorang qadhi “Apakah kamu tahu tentang nasikh mansukh?”
lalu dijawab tidah tahu, beliau langsung mengatakan kepadanya “Engkau telah
binasa dan membinasakan orang lain.”
Dengan adanya nasikh mansukh
menunjukkan kepada umat Islam bahwa syariat islam adalah syariat yang
paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan umatnya, dan untuk menambah
kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukumnya,
serta untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat islam, sebab dalam
beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijakansanaan dan kemurahan Allah SAW.
Nasik mansukh merupakan menghilangkan atau mengubah sesuatu dari
sesuatu tanpa mengubah subtansinya itu sendiri, seperti memindahkan catatan
yang ada dibuku ke tempat lain atau disebut juga menyalin. Dalam menentukan
sebuah nasikh mansukh terjadi perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama
yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di
antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit
yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Namun dalam pertentangan para
Ulama yang menerima tentang adanya nasikh mansukh Al-Qur’an dalam penerimaannya
mereka memiliki kadar penerimaan yang berbeda-beda tergantung masing-masing
kadar yang mereka miliki dalam memutuskan untuk menerima nasikh mansukh.
Adapun
syarat-syarat yang dimaksud antara lain yang harus dipenuhi yaitu:
Hukum yang
dihapus berupa hukum syar’i.
Dalil yang
menghapuskan hukum berupa dalil syar’i.
Dalil yang
menghapus (nasikhah) turun lebih akhir daripada hukum yang hapus.
Hukum yang
dihapuskan/tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adanya
pertentangan yang jelas antara kedua dalil tersebut.
Didin Saefuddin
Buchori,Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an,Bogor:Granada Sarana Pustaka,2005.
Prof. Dr. H.
Yunahara Ilyas, Lc., MA,Kuliah Ulumul Qur’an,Yogyakarta:ITQAN Publishing.2013
http://Mambaulhikam.blogspot.co.id/2012/03/makalah-ulumul-qur’an-nasikh-mansukh.
[1] Prof. Dr.H. Yunahar Ilyas . Lc.,MA,2013,Kuliah Ulumul Qur’an , Yogyakarta:ITQAN Publishing.hlm.173