Minggu, 26 Maret 2017

PENGERTIAN DARI NASIKH MANSUKH

BAB I
            A. Latar Belakang
Al-Qur’an  adalah kita suci yang diturunkan oleh Allah saw sebagai petunjuk umat manusia di muka bumi. Karena Al-Qur’an merupakan sumber hukum, norma dan nilai dalam islam. Maka dari itu kita harus mengetahui kronologi yang ada di dalam Al-Qur’an seperti naskh mansukh dalam Al-Qur’an. Didalam menentukan nasikh mansukh Al-Qur’an ternyata didalam prosesnya itu mengalami berbagai pro dan kontra yang terjadi antar ulama.
 Perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Adapun Ulama yang mau menerima nasikh mansukh dalam Al-Qur’an yaitu semisal Imam Syafi’i, sedangkan ulama yang menolak adanya nasik mansukh dalam Al-Qur’an yaitu seperti Abu Muslim al-Ashfihani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Dr. Taufiq Shidqi dan Utstad al-Khudari.
            B. Rumusan Masalah
Apa pengertian dari nasikh mansukh ?
Bagaimana prokontra dalam menentukan nasikh mansukh ?
Apa syarat dan mancam-macam nasik mansukh dalam Al-Qur’an ?
            C. Tujuan
Untuk mengetahui apa yang dimaksud nasik mansuk.
Untuk mengetahui prokontra yang terjadi antar ulama dalam menetukan nasikh mansuk.
Untu mengetahui apa saja syarat-syarat nasikh mansukh dan macam-macam nasikh mansukh dalam Al-Qur’an.





Secara etimologi nasikh mansukh berasal dari kata nasakha-yansukhu-naskhun, yang dalam bentuk mashar, naskhun adalah al-izalah yang berarti menghilangkan segala sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya. Kata naskhjuga digunakan sebagai pengertian memindahkan atau menghilangkan segala sesuatu dari suatu tempat ketempat yang lain tanpa menghilangkan subtansinya itu sendiri atau yang asli. Maka dengan demikian nasikh mansukh adalah menghilangkan atau mengubah sesuatu dari sesuatu tanpa mengubah subtansinya itu sendiri, seperti memindahkan catatan yang ada dibuku ke tempat lain atau disebut juga menyalin.
Naskh dalam pandangan pakar tafsir yaitu menurut Quraish Shihab memandang naskh lebih cenderung kepada pengertian tabdil atau makna tabdil, karena menurut beliau menganggap pengertian atau maksud dari tabdil dapat meningkatkan pengertian hukum dari makna sebelumnya atau makna aslinya kemakna yang kemudiannya atau sesudahnya, yang berdasarakan kepada kebutuhan situasional yang ada.
Ia mengatakan : “Kesemua yang ada didalam ayat suci Al-Qur’an tidak ada yang kontradiksi. Namun yang ada adalah hanya pergantian hukum-hukum bagi masyarakat atau bagi orang tertentu, karena perbedaan situasi dan kondisi yang berbeda. Maka jika ayat tidak berlaku baginya, namun bisa juga tetap berlaku bagi orang lain yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sama pada mereka.
Sedangkan menurut pengertian naskh yang pertama yang berati menghilangkan dan meniadakannya yang mempunyai akibat raf’i al-hukum asy-syar’i bi dalil asy-syar’i. Maksudnya hukum yang dibawa dalil pertama sama sekali dihapus atau ditiadakan oleh kedatangan dalil yang kedua. Sementara apabila dalil yang kedua digunakan atau dipakai (memindah atau merubahnya/takwil), yang akibatnya hukum yang dibawa oleh dalil pertama maka sifatnya itu non aktif. Maksud dari non aktif disini adalah subtansi hukumnya tetap, akan tetapi di tawaqqufkan untuk sementara waktu, karena ada hukum kedua yang lebih sesuai dengan kebutuhan situasionalnya.




Nask dilihat dalam pengertian al-izalah terdapat dalam Surah Al-Hajj 52:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Hajj 22:52) [1].

Nask dalam pengertian memindah atau menyalin sesuatu dari tempat ke suatu tempat lain, didalam Al-Qur’an ditemukan dalam Surah Jatsiyah:29.
“(Allah berfirman): “Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh menyalin apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S.Al-Jatsiyah 45:29)
Yang dimaksud dari kata menyalin tersebut adalah memindahkan segala amal perbuatan yang telah dilakukan ke dalam lembaran-lembaran amal.
Dalam menentukan sebuah nasikh mansukh pastilah begitu banyak pro kontra yang terjadi dikalang para ulama. Perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Adapun Ulama yang mau menerima nasikh mansukh dalam Al-Qur’an yaitu semisal Imam Syafi’i, sedangkan ulama yang menolak adanya nasik mansukh dalam Al-Qur’an yaitu seperti Abu Muslim al-Ashfihani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Dr. Taufiq Shidqi dan Utstad al-Khudari. Adapun ulama yang menyetujui naskh mendasarkan pendapatkan pada firman Allah:
Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’i telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
 Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak.

Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(Q.S. An-Nahl: 101)
QS. Al-Baqarah:106:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(Q.S. Baqarah:106).
 Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat: 42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya yang diturunkan dari Rabb yang Maha Terpuji.(Q.S. Fushilat:42)
Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di Firmankan-Nya.
Para Ulama yang menerima tentang adanya nasikh mansukh Al-Qur’an dalam penerimaannya mereka memiliki kadar penerimaan yang berbeda-beda tergantung masing-masing kadar yang mereka miliki dalam memutuskan untuk menerima nasikh mansukh
Dalam memutuskan nasikh mansukh ada yang mudah memutuskan atau menetapkan nasikh bagi ayat-ayat yang terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) tanpa adanya usaha untuk memastikan bahwa ta’arudh itu sifatnya hakiki atau tidak, sehingga tidak bisa lagi dikompromikan lagi sama sekali. Maka dengan demikian nasikh mansukh dalam Al-Quran yang ayat-ayatnya dinaskh sangatlah banyak sekali.
As-Suyuthi dalam al-Itqan mengutip pendapat bahwa surat-surat yang di dalamnya ada nasikh dan mansukh ada 25 Surat. Surat-surat yang ada nasikh saja ada 6 Surat, yang ada mansukh saja ada 40 Surat. Berarti hanya 43 Surat yang tidak ada nasikh atau mansukhnya.
As-Suyuthi memberikan contoh-contoh naskh dalam beberapa Surah, antara lain sebagai berikut:
Surat Al-Baqarah 184 mansukhah dengan Al-Baqarah 185:
“..dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin..”(Q.S. Al-Baqarah 2:184).

“...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,,,”(Q.S. Al-Baqarah 2:185).
Surat Al-Baqarah 217 mansukhah dengan At-Taubah 36:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu dosa besar..”(Q.S. Al-Baqarah 217).

“...dan pergilah kaum itu semuanya..” (Q.S. At-Taubah 9: 36).
Surat Al-Baqarah 284 mansukhah dengan Al-Baqarah 286:
“..dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu.”(Q.S. Al-Baqarah 2:284).

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..”(Q.S. Al-Baqarah 2:286).


Surat Ali ‘Imran 102 mansukhah dengan Surah At-Taghabun 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam..”(Q.S. Ali ‘Imran 3:102).

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(Q.S. At-Taghabun 64:16).
Dari contoh di atas maka jelaslah bahwa ulama terlalu mudah dalam menggambil keputusan untuk mengnaskh mansukhah Al-Qur’an tanpa sebelumnya menyelidiki terlebih dahulu apakah ada ta’arudh haqiqi antara kedua ayat yang di naskh mansukhah. Semisal dari ayat Ali ‘Imran:102 yang berisi agar manusia di muka bumi ini bertaqwa yang sifatnya umum, sedangkan ayat At-Taghabun:16 berisi kententuan agar manusia di muka bumi ini bertaqwa yang sifatnya khusus, apabila tidak bisa bertaqwa sepenuhnya. Dari kedua ayat tersebut merupaka belum bisa memenuhi syarat untuk dinyatakan nasikh mansukh, sebab dari kedua ayat tersebut tidak benar-benar bertentangan.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha bahwa ayat tersebut tidaklah ada pertentangan antara ayat keduanya apabila berusaha untuk dipahami secara lebih mendalam. Kedua ayat tersebut tidak mengalami pertentangan sebab ayat tersebut memerintahkan bahwa manusia di muka bumi ini untuk bisa berusaha sebisa mungkin bersunguh-sungguh bertaqwa,  sehingga tidak meninggalkan sedikitpun usaha yang dapat dilakukan.
Meskipun telah terjadi kesepatan bahwa naskh hanya terjadi pada zaman Nabi, namun para ulama memberi persyaratan terhadap ayat yang menjadi nasikhah maupun mansukhah, sehingga sangat terkesan seolah-olah naskh tetap berlangsung sepanjang zaman.
Adapun syarat-syarat yang dimaksud antara lain yang harus dipenuhi yaitu:
Hukum yang dihapus berupa hukum syar’i.
Dalil yang menghapuskan hukum berupa dalil syar’i.
Dalil yang menghapus (nasikhah) turun lebih akhir daripada hukum yang hapus.
Hukum yang dihapuskan/tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adanya pertentangan yang jelas antara kedua dalil tersebut.

Dalam nasikh mansukh ini banyak yang memiliki berbagai perbedaan pendapat dari macam-macam naskh masukh dalam Al-Qur’anada yang berpendapat bahwa macam-macam naskh yang menyebutkan ada tiga macam, dan ada juga yang menyebutkan empat macam.
Apabila dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya, naskah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam, sedangkan dari segi keberadaan ayat dan hukumnya, naskh mansukh dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam.
Dilihat dari kejelasan dan cakupannya, naskah dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi empat yaitu:
Nasakh Sharih, yaitu suatu ayat yang secara jelas menghapuskan hukum yang ada di dalam ayat yang terdahulu. Contohnya yaitu seperti ayat perang yang mengharuskan 1:10 antara Muslim melawan kafir, Lalu kemudian dinaskh dengan ayat yang hanya mengharuskan 1:2  dalam menangani masalah yang sama. (Q.S. Al-Anfal[8] : 65-66).
Nasakh Dlimmy, yaitu suatu ayat dimana bila ayat yang ketentuan hukumnya bertentangan dengan hukum yang terdapat terdahulu yang tidak dapat dikompromikan, maka ayat yang akan datang kemudian menaskh ayat yang terdahulu. Contohnya ayat tentang wajibnya wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
Nasakh Kully, yaitu menaskh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya yaitu tentang adanya ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yang dinaskh dengan hanya beriddah 4 bulan 10 hari. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 240-243.
Nasakh Juz’iy, yaitu menasakh hukum umum yang mencangkup dari semua individu dengan hukum yang hanya mencakup sebahagia individu, atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyah. Contohnya ada seseorang yang menuduh seorang perempuan atau wanita dengan tuduhan zina, tanpa adanya menghadirkan 4 saksi maka hukumnya didera 80 kali (Q.S. An-Nur [24]:4). Lalu ayat ini dinaskh dengan ayat yang menjelaskan bahwa jika si penuduh itu ternyata suaminya, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling bersumpah (mula’anah) antara keduanya.(Q.S. An-Nur [24]:6).
Sedangkan menurut Dr. Quraish Shihab, beliau menolak akan adanya ta’arud haqiqi yang ada di dalam Al-Qur’an. Sebab menurut beliau bahwa semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an masih berlaku baik tilawahnya maupun dari hukumnya. Dari pendapat ini dikemukakan untuk membantah pendapat-pendapat yang menyatakan nasikh mansukh dibagi menjadi tiga macam bagian.
Ditinjau dari segi keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh mansukh dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
Nasakh tilawah dan hukumnya sekaligus (bersama-sama). Seperti yang diriwayatkan Aisyah ra (menurut setengah pengamat hadis ini maudlu’).
Yang dinasikh hukumnya saja sedangkan tilawahnya itu tetap (tidak dinaskhkan). Seperti pada ayat Al-Mujadalah ayat 12 dinaskh oleh Al-Mujadalah ayat 13, lalu pada surat Al-Baqarah ayat 184 dinaskh oleh Al-Baqarah [2] ayat 185.
Yang dinasakhkan tilawahnya bukan dari segi hukumnya, seperti pada ayat rajam. Namun Dr. Quraish mengatakan bahwa ayat rajam itu merupakan ayat rajam itu tidak ta’arud, karena ayat Nasikh terlebih dahulu daripada ayat Mansukh.
Dalam realita naskh dalam Al-Qur’an setidaknya terdapat dua ayat yang dipandang oleh jumhur ulama sebagai dasar legitimasi eksistensi naskh di dalam Al-Qur’an. Ayat dimaksud oleh ulama jumhur adalah An-Nahl 101 dan surat Al-Baqarah 106 yaitu :
“ Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(Q.S. An-Nahl [16]:39.

مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]

“Ayat mana saja yang kami Nasakhkan, maka Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas sesuatu?”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 106.
Adapun yang menjadi tumpuan atau menjadi sebuah pijakan rasional untuk bisa mengakui akan adanya naskh di dalam Al-Qur’an yaitu adanya pertentangan antara para sahir satu dengan sahir yang lain tentang sebuah ayat. Ayat yang dipertentangkan salah satunya menjadi mansukhah (yang dihapus), apabila ayat itu turun terlebih dahulu, sedangkan ayat yang turunnya kemudian menjadikan ayat tersebut menjadi ayat nasikhah (penghapus).
Sementara itu masih juga bermunculan pertentang seperti menurut An-Nahas menyatakan bahwa ada seratus ayat yang mansukhah karena ada pertentangan pada ayat satu dengan yang lainnya. Sedangkan menurut As-Sayuthi, mengatakan pandangannya ada sekitar dua puluh ayat saja yang tidak dapat dikompromikan lagi. Namun menurut Asy-Syaukani, mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa hanya ada 8 ayat saja yang tidakbisa dikompromikan yang ada di dalam Al-Qur’an, setelah bisa berhasil mentaufiqkan dua belas ayat dari dua puluh ayat yang dianggap mengalami pertentangan oleh As-Suyuti.


Dalam mempelajari kajian nasik mansukh ini sangatlah penting, karena dengan adanya kajian nasikh mansukh ini akan memberikan gambaran kepada kita akan adanya berbagai pendapat yang bermunculan dalam menentukan nasikh mansukh ternyata tidak semudah yang terlihat. Namun dibalik itu banyak sekali yang harus diketahui tentang nasikh mansukh supaya kita bisa lebih tau tentang bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus yang mengalami pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, dan tidak ada cara penyelesaiannya maka haruslah dengan menyelidiki kronologi turunya yang mana terlebih dahulu turun dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga dengan cara itu kita mampu mengetahui yang mana nasikh dan yang mana mansukh.
Diriwayatkan pada suatu hari Ali bin Abi Thalib masuk dalam masjid dan beliau menemukan seseorang yang sedang mengisi tausiyah di dalam masjid tersebut dihadapan  banyak orang yang ada di dalam masjid, lalu Ali bin Abi Thalib bertanya kepada orang tersebut “Apakah kamu tahu tentang apa itu nasikh mansukh?” dan orang tersebut menjawab tidak tahu, maka Ali bin Abi Thalib menyuruh orang tersebut untuk pergi sekaligus melarang supaya ia tidak lagi memberi tausiyah lagi. Dan juga beliau juga pernah bertanya kepada seorang qadhi “Apakah kamu tahu tentang nasikh mansukh?” lalu dijawab tidah tahu, beliau langsung mengatakan kepadanya “Engkau telah binasa dan membinasakan orang lain.”
Dengan adanya nasikh mansukh  menunjukkan kepada umat Islam bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan umatnya, dan untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukumnya, serta untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan Allah SAW. 




Nasik mansukh merupakan menghilangkan atau mengubah sesuatu dari sesuatu tanpa mengubah subtansinya itu sendiri, seperti memindahkan catatan yang ada dibuku ke tempat lain atau disebut juga menyalin. Dalam menentukan sebuah nasikh mansukh terjadi perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yaitu tentang adanya perbedaan pendapat secara tajam tentang nasikh mansukh. Di antara para ulama ada yang mau menerima nasikh mansukh, namun tidak sedikit yang juga menolak nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Namun dalam pertentangan para Ulama yang menerima tentang adanya nasikh mansukh Al-Qur’an dalam penerimaannya mereka memiliki kadar penerimaan yang berbeda-beda tergantung masing-masing kadar yang mereka miliki dalam memutuskan untuk menerima nasikh mansukh.
Adapun syarat-syarat yang dimaksud antara lain yang harus dipenuhi yaitu:
Hukum yang dihapus berupa hukum syar’i.
Dalil yang menghapuskan hukum berupa dalil syar’i.
Dalil yang menghapus (nasikhah) turun lebih akhir daripada hukum yang hapus.
Hukum yang dihapuskan/tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adanya pertentangan yang jelas antara kedua dalil tersebut.





Didin Saefuddin Buchori,Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an,Bogor:Granada Sarana Pustaka,2005.
Prof. Dr. H. Yunahara Ilyas, Lc., MA,Kuliah Ulumul Qur’an,Yogyakarta:ITQAN Publishing.2013
http://Mambaulhikam.blogspot.co.id/2012/03/makalah-ulumul-qur’an-nasikh-mansukh.




[1] Prof. Dr.H. Yunahar Ilyas . Lc.,MA,2013,Kuliah Ulumul Qur’an , Yogyakarta:ITQAN Publishing.hlm.173

EVALUASI PENDIDIKAN

BAB  I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Evaluasi sangat dibutuhkan dalam berbagai kegiatan kehidupan manusia sehari-hari, karena disadari atau tidak, sebenarnya evaluasi sudah sering dilakukan, baik untuk diri sendiri maupun untuk kegiatan sosial lainnya. Hal ini dapat dilihat mulai dari berpakaian, setelah berpakaian seseorang biasanya berdiri dihadapan kaca untuk melihat apakah penampilannya sudah wajar atau belum.
Dalam pendidikan Islam evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan Islam dan proses pembelajaran.
Pembelajaran merupakan kegiatan yang disengaja (sadar) oleh peserta didik dengan bimbingan atau bantuan dari pendidik untuk memperoleh suatu perubahan. Perubahan yang diharapkan meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Perubahan yang diharapkan itu yang dinamakan dengan kompetensi (kemampuan melakukan sesuatu). Untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan tercapai oleh peserta didik diperoleh melalui evaluasi.
Melihat kenyataan di atas, penulis menjadi tertarik untuk mengkaji masalah Evaluasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam lebih dalam lagi. Dengan harapan dapat menambah pengetahuan kita, khususnya bagi penulis.

2. Rumusan Masalah
Menanggapi latar belakang di atas, maka penulis mengangkat beberapa rumusan masalah yaitu :   
1.  Apa yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan?
2. Apa tujuan dari evaluasi pendidikan?
3.  Apa fungsi dari evaluasi pendidikan?





3.Tujuan Pembahasan Makalah
a.      Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al- Fattah.
b.      Tujuan pembahasan Makalah
Setelah teman - teman mahasiswa mempelajari dan mendiskusikan makalah ini diharapkan mampu 1. Mengetahui pengertian, tujuan fungsi, jenis-jenis, prinsip-prinsip, sasaran, ciri-ciri dan prosedur evaluasi pendidikan.
2.  Memahami dan mengamalkan / memperaktekkan pengertian, tujuan fungsi, jenis-jenis, prinsip-prinsip, sasaran, ciri-ciri dan prosedur evaluasi pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Evaluasi Pendidikan
a.  Secara  Etimologi
Evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Evaluation akar katanya value yang berarti nilai atau harga. Nilai dalam bahasa Arab disebut Al-Qimah atau Al-Taqdir.Dengan demikian secara harfiah, evaluasi pendidikan ( Al-Taqdir al-Tarbawiy ) dapat diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.Pada hakikatnya Evaluasi Pendidikan diartikan pula sebagai penilaian pendidikan yakni kegiatan menilai yang terjadi dalam aktivitas pendidikan yang berupa semacam pengukuran[1].
b. Secara Terminologi
Para ahli mendefinisikan evaluasi sebagai berikut :
1) Menurut Edwind Wandt, evaluasi mengandung pengertian : suatu tindakan atau proses dalam menentukan nilai sesuatu.
2)  Menurut M.Chabib Thoha, evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Dengan demikian evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan incidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan berdasarkan atas tujuan yang jelas.
c.Evaluasi Pendidikan
Menurut Lembaga Pendidikan Administrasi Negara batasan mengenai evaluasi pendidikan adalah sebagai berikut :
1) Proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditemukan.
2)Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi  penyempurnaan pendidikan.

Evaluasi dalam proses pembelajaran mengandung makna yaitu :
1) Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran  bersifat kuantitatif.
2)Penilaian (evaluation) mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif.
Dengan demikian ketika kita mengadakan evaluasi meliputi kedua hal di atas. Evaluasi adalah salah satu kegiatan yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran, dengan evaluasi guru akan mengetahui perkembangan proses dan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, sikap dan kepribadian peserta didik.
d. Evaluasi Pendidikan Islam
Evalusi dalam pendidikan islam merupakan cara atau tekhnik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat kmperhensif dari seluruh aspek – aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual, religious, karena manusia hasil pendidikan islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religious, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakat[2].
Kalau kita kaitkan dengan pengertian evaluasi pendidikan dengan pendidikan Islam, maka evaluasi itu berarti suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan Islam. Al wahab mengatakan bahwa evaluasi atau tagwim itu adalah sekumpulan kegiatan pendidikan yang menentukan atas suatu perkara untuk mengetahui tercapainya tujuan akhir pendidikan dan pengajaran sesuai dengan program-program pelajaran yang beraneka ragam. Sedang daftar hasil kegiatan pada waktu itu berupa berupa kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan, evaluasi menitik beratkan pada proses pendidikan dan pengajaran.

2. Tujuan Evaluasi Pendidikan
Dilihat dari prinsip evaluasi yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Maka tujuan dari evaluasi yaitu :
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi.
2.Untuk mengetahui sejauh mana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah SAW. Kepada umatnya .
Firman Allah :
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al- Baqarah : 155)
Tujuan evaluasi secara umum adalah untuk mengetahui ada atau  tidaknya perubahan pada diri peserta didik serta tingkat perubahan  yang dialaminya setelah ia mengikuti PBM (proses belajar mengajar). Tetapi sebenarnya hal  tersebut baru merupakan sebagian dari tujuan evaluasi dalam arti yang sebenarnya. Kita harus masih mengenal dimensi tujuan  lain. Misalnya sebagaimana dirumuskan di dalam Kurikulum 1975  (Buku III B - tentang Pedoman Penilaian), dapat kita baca bahwa tujuan evaluasi belajar siswa di sekolah pada  dasarnya dapat digolongkan kedalam 4 (empat) kategori yaitu:
  1. Untuk memberi umpan balik (feedback) kepada guru, sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan revisi program dan remidial program bagi siswa.
  2.  Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing siswa, yang antara lain diperlukan untuk memberikan laporan kepada para orang tua siswa, penetapan kenaikkan kelas, dan penentuan lulus tidaknya siswa.
  3.  Untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang tepat (misalnya dalam penentuan jurusan) sesuai dengan tingkat kemampuan dan atau karakteristik lain yang dimiliki siswa.
  4.  Untuk mengenal latar belakang (psikologi, pisik, dan lingkungan) siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar. Yang hasilnya dapat dipakai sebagai dasar untuk memecahkan kesulitan-kesulitan tersebut.
Setiap perbuatan dan tindakan dalam pendidikan selalu menghendaki hasil. Pendidik selalu berharap bahwa hasil yang diperoleh sekarang lebih memuaskan dari hasil yang diperoleh sebelumnya. Untuk menentukan dan membandingkan antara hasil satu dengan lainnya diperlukan adanya evaluasi.





3. Fungsi Evaluasi pendidikan
1.Evaluasi berfungsi selektif
Dengan cara mengadakan evaluasi guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi terhadap peserta didiknya. Tujuan evaluasi ini adalah :
a. Untuk memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu.
b.  Untuk memilih siswa yang dapat naik ke kelas atau tingkat berikutnya.
c. Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa.
2. Evaluasi berfungsi diagnostik
Guru dapat mengetahui kelemahan peserta didik melalui evaluasi, disamping itu diketahui pula sebab-musabab kelemahan itu. Jadi dengan mengadakan evaluasi, sebenarnya guru megadakan diagnosis kepada peserta didik tentang kebaikan dan kelemahannya. Dengan diketahuinya sebab-sebab kelemahan ini akan lebih mudah dicari cara untuk mengatasi.
  1. Evaluasi berfungsi sebagai penempatan
Setiap peserta didik sejsk lshirnya telah membawa bakat sendiri-sendiri sehingga pelajaran akan lebih efektif apabila disesuaikan dengan pembawaan yang ada. Akan tetapi disebabkan keterbatasn sarana dan tenaga, pendidikan individual kadang-kadang sulit sekali dilaksanakan. Pendekatan yang lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan adalah pengajaran secara kelompok. Untuk dapat menentukan dengan pasti dikelompok mana seorang peserta didik ditempatkan, digunakan suatu evaluasi. Sekelompok peserta didik yang mempunyai hasil evaluasi yang sama akan berada dalam kelompok yang sama dalam belajar.
  1. Evaluasi berfungsi sebagai pengukur keberhasilan
Evaluasi disini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : faktor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan system administrasi[3].


4. Jenis-Jenis Evaluasi Pendidikan
a. Evaluasi Formatif
Yaitu evaluasi / penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik setelah menyelesaikan program dalam satuan materi pokok pada suatu bidang study tertentu. Evaluasi ini dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau modul. Yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa manusia dalam hal ini peserta didik mempunyai banyak kelemahan.
Firman Allah :
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun”.  (QS. An-Nahl:78)
Sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap tidak akan lebih abadi bila pengetahuan, keterampilan dan sikap itu tidak dibiasakan. Untuk itu Allah Swt meganjurkan agar manusia berkonsentrasi pada suatu informasi yang didalami sampai tuntas, mulai proses pencarian (belajar mengajar) sampai pada tahap pengevaluasian. Setelah informasi itu dikuasai dengan sempurna, ia dapat beralih pada informasi yang lain . Dalam melaksanakan evaluasi formatif, seorang pendidik perlu memperhatikan beberapa aspek evaluasi jenis ini, yaitu :
a. Aspek Fungsi
Untuk memperbaiki proses pembelajaran kearah yang lebih baik dan efisien atau memperbaiki rencana pembelajaran.
b. Aspek Tujuan
Untuk mengetahui sampai dimana penguasaan peserta didik tentangmateri yang diajarkan dalam satu rencana atau satuan pelajaran.
c. Aspek-aspek yang dinilai
Aspek-aspek yang dinilai pada evaluasi / penilaian formatif adalah hasil kemajuan belajar peserta didik yang meliputi : pengetahuan, keterampilan, sikap terhadap materi ajar yang disampaikan.

b.Evaluasi Sumatif
Yaitu evaluasi / penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik yang telah selesai mengikuti pembelajaran satu semester atau akhir tahun. Untuk menentukan jenjang pendidikan berikutnya. Evaluasi sumatif ini dapat dianggap sebagai  “ulangan umum” yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajarsiswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenaikinerja akademik siswa dan bahan penentu naik tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.Asumsi evaluasi ini adalah bahwa segala sesuatu termasuk peserta didik diciptakan mengikuti hukum bertahap. Setiap tahap memiliki satu tujuan dan karakteristik tertentu.Satu tahapan yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk kemudian beralih ke tahapan yang lebih baik.

5.  prinsip- prinsip evaluasi pendidikan islam
A. Prinsip Umum
Agar evaluasi dapat akurat dan bermanfaat bagi para peserta didik dan masyarakat, maka evaluasi harus menerapkan seperangkat prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
1.Valid
Evaluasi mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis tes yang terpecaya dan shahih. Artinya, adanya kesesuaian alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran. Apabila alat ukur tidak memiliki keshahihan yang dapat dipertanggung jawabkan maka data yang dihasilkan juga salah dan kesimpulan yang ditarik juga menjadi salah.
2. Berorientasi Pada Kompetensi
Evaluasi harus memiliki pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi seperangkat pengetahuan, sikap keterampilan dan nilai yang terefleksi dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Dengan berpijak pada kompetensi ini maka, ukuran-ukuran keberhasilan penbelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah.
3. Berkelanjutan
Evaluasi harus dilakukan secara terus menerus dari waktu-kewaktu  untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan peserta didik, sehingga kegiatan dan unjuk kerja peserta didik dapat dipantau melalui penilaian.
4. Menyeluruh
Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dan meliputi seluruh materi ajar serta berdasarkan pada strategi dan prosedur evaluasi. Dengan berbagai bukti tentang hasil belajar peserta didik yang dapat dipertanggung jawabkan kepada semua pihak.

5. Bermakna
Evaluasi diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu evaluasi hendaknya mudah dipahami dan dapat ditindak lanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil evaluasi hendaknya mencerminkan gambaran yang utuh tentang prestasi peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan.
5.Adil dan Objektif
Evaluasi harus mempertimbangakan rasa keadilan bagi para peserta didik dan objektifitas pendidik. Tanpa membedakan jenis kelamin, latar belakang etnis, budaya, dan berbagai hal yang memberikan konstribusi pada pembelajaran. Sebab ketidak adilan dalam evaluasi/penilaian dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar peserta didik karena mereka merasa dianak tirikan.
6.Terbuka
Evaluasi hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagi kalangan sehingga keputusan tentang keberhasilan peserta didik jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan tanpa ada rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.
7. Ikhlas
Ikhlas berupa kebersihan niat atau hati pendidik, bahwa ia melakukan evaluasi itu dalam rangka efisiensi tercapainya tujuan pendidikan dan bagi kepentingan peserta didik.
8. Praktis
Praktis berarti mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan beberapa indicator.
9. Di catat dan Akurat
Hasil dari setiap evaluasi prestasi peserta didik harus secara sistematis dan komprehensif dicatat dan disimpan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan.
  b.Prinsip Khusus
a.       Adanya jenis evaluasi yang digunakan yang memungkinkan adanya kesempatan terbaik dan maksimal bagi peserta didik menunjukkan kemampuan hasil belajar mereka.
b.      Setiap guru/pendidik harus mampu melaksanakan prosedur penilaian dan pencatatan secara tepat prestasi dan kemampuan serta hasil belajar yang dicapai peserta didik.

6.Sasaran Evaluasi Pendidikan
Objek atau sasaran evaluasi/penilaian adalah segala sesuatu yang menjadi titik pusat pengamatan karena penilai menginginkan informasi tentang sesuatu tersebut. Unsur-unsur sasaran evaluasi pendidikan meliputi :
a.      Input
Input adalah bahan mentah yang dimasukkan ke dalam transformasi. Dalam dunia sekolah maka yang dimaksud dengan bahan mentah adalah calon siswa yang baru akan memasuki sekolah. Sebelum memasuki suatu tingkat sekolah (institusi), calon siswa itu di evaluasi atau dinilai dahulu kemampuannya. Dengan evaluasi / penilaian itu ingin diketahui apakah kelak ia akan mampu mengikuti pelajaran dan melaksanakan tugas-tugas yang akan diberikan kepadanya.
Calon siswa sebagai pribadi yang utuh, dapat ditinjau dari beberapa segi yang menghasilkan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang bersifat rohani setidak-tidaknya mencakup 4 hal, yaitu :
1) Kemampuan
2) Kepribadian
3)  Sikap-Sikap.
4)  Intelegensi
b.      Transformasi
Yang dimaksud dengan transformasi adalah mesin yang bertugas mengubah bahan mentah menjadi baham jadi. Dalam dunia pendidikan, sekolah itulah yang dimaksud dengan transformasi. Sekolah itu sendiri terdiri dari beberapa mesin yang menyebabkan berhasil atau gagalnya sebagai transformasi. Bahan jadi yang diharapkan, yang dalam hal ini siswa lulusan sekolah di tentukan oleh beberapa faktor sebagai akibat bekerjanya unsur-unsur yang ada.
Unsur yang terdapat dalam transfornasi yang semuanya dapat menjadi sasaran atau objek evaluasi/penilaian demi diperolehnya hasil pendidikan yang diharapkan. Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi sasaran atau objek evaluasi antara lain :
a.       Kurikulum atau materi,
b.      Metode dan cara penilaian,
c.       Sarana pendidikan atau media
d.      Sistem administrasi
e.       Guru/pendidik dan personal lainnya.

c.       Output
Yang dimaksud sebagai output atau keluaran adalah bahan jadi yang dihasilkan oleh transfornasi. Yang dimaksud dalam pembicaraan ini adalah siswa lulusan sekolah yang bersangkutan. Untuk dapat menentukan apakah seorang siswa berhak lulus atau tidak, perlu diadakan kegiatan penilaian sebagai alat penyaring kualitas.
Evaluasi terhadap lulusan suatu sekolah dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pencapaian / prestasi belajar mereka selama mengikuti program. Alat yang digunakan untuk mengukur pencapaian ini disebut tes pencapaian atau Achievement Test.
Kecenderungan yang ada sampai saat ini disekolah adalah bahwa guru hanya menilai prestasi belajar aspek kognitif atau kecerdasan saja. Alatnya adalah tes tertulis. Aspek psikomotorik apalagi afektif sangat jarang di jamah oleh guru. Akibatnya dapat kita saksikan yakni bahwa para lulusan hanya menguasai teori tetapi tidak terampil melakukan pekerjaan keterampilan juga tidak mampu mengaplikasikan pengetahuan yang sudah mereka kuasai. Lemahnya pembelajaran dan evaluasi terhadap aspek afektif ini, jika kita mau instrospeksi telah berakibat pada merosotnya akhlak para lulusan, yang selanjutnya berdampak pada merosotnya akhlak bangsa.

7. Ciri-Ciri Evaluasi Pendidikan
Ciri-ciri evaluasi dalam pendidikan, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Evaluasi dalam pendidikan dilakukan secara tidak langsung. Contohnya dalam mengukur kepandaian melalui ukuran kemampuan menyeleseikan soal-soal.
b.Evaluasi pendidikan bersifat kuantitatif. Ukuran yang digunakan dalam evaluasi pendidikan yaitu ukuran kuantitatif, artinya menggunakan smmbol bilangan sebagai hasil pertama pengukuran, setelah itu lalu diinterpretasikan kebentuk kualitatif.
c. Evaluasi pendidikan menggunakan unit-unit atau satuan-satuan yang tetap.
d. Evaluasi pendidikan bersifat relative. Artinya tidak sama atau tidak selalu tetap dari satu waktu kewaktu yang lain.
e. Dalam evaluasi pendidikan sering terjadi kesalahan- kesalahan. Adapun sumber kesalahan dapat ditinjau dari berbagai faktor, yaitu :
1)      Kesalahan pada waktu melakukan penilaian karena factor subjektif penilai telah berpengaruh pada hasil pengukuran.
2)      Kecenderungan dari penilai untuk memberikan nilai secara “murah” atau “mahal”.
3)      Adanya hallo effect yakni kesan penilai terhadap siswa.
4)      Adanya pengaruh hasil yang telah diperoleh terdahulu.
5)      Kesalahan yang disebabkan kekeliruan menjumlah angka-angka hasil penilaian

  


  

BAB III
PENUTUP

 Kesimpulan
          Evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan berdasarkan atas tujuan yang jelas.
Tujuan evaluasi secara umum adalah untuk mengetahui ada atau  tidaknya perubahan pada diri peserta didik serta tingkat perubahan  yang dialaminya setelah ia mengikuti PBM (proses belajar mengajar).
Fungsi evaluasi pendidikan yaitu :
1.      Evaluasi berfungsi selektif
2.      Evaluasi berfungsi diagnostic
3.      Evaluasi berfungsi sebagai penempatan
4.      Evaluasi berfungsi sebagai pengukur keberhasilan





DAFTAR PUSTAKA

Drs. Hasan Basri, M.Ag. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2009
Drs. H. Hamdani Ihsan, Drs. H. A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998
https://algaer.wordpress.com



[1] Drs. Hasan Basri, M.Ag. 2009. Filsafat Pendidikan Islam (hakikat evaluasi pendidikan islam) hal 142
[2] Drs. H. Hamdani Ihsan – Drs. H. A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam (evaluasi dalam pendidikan islam) hal 224
[3]Drs. H. Hamdani Ihsan – Drs. H. A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam.Fungsi pndidikan islam. hal 218-220