BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Jaddal Qur'an
Secara bahasa jaddal berasal dari kata جَدَلَ
يَجْدَلُ جُدُولًا
yang artinya صَلُبَ, adapun secara istilah jaddal dan jiddal adalah
bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan.
Pengertian جَدَلْتُ الحَبْلُ yakni اَحْكَمْتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak
itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari
pendirian yang dipeganginya.
Jadal dan
jidal artinya bertukar pikiran (curah -gagasan) dengan cara bersaing dan
berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata-kata jadala al-hadl, yakni ukhimat fatlah (aku
kokohkan jalinan tali itu) mengingat kedua pihak itu mengokohkan pendapatnya
masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawannya dari pendirian yang
dipeganginya.[1]
Allah
berfirman dalam Al-quran bahwa jadal atau berdebat merupakan salah satu
tabiat manusia.” Manusia adalah makhluh yang paling banyak debatnya (QS
al-Kahfi 18:54), artinya manusia adalah makhluk yang paling banyak bermusuhan
dan bersaing. Rasulullah SAW. juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum
musyrikin dengan cara yang baik yang dapat mered[2]akan
keberingasan mereka. “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik, dan berdebatlah mereka dengan cara yang paling baik” (QS
an-Nahl, 16: 125 ).
Allah
membolehkan hamba-Nya untuk ber-munazarah (berdiskusi) dengan Ahli kitab
dengan cara yang baik pula “janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,
melainkan dengan cara yang paling baik” (QS al-Ankabut, 29 :46).
Munazarah yang demikian itu bertujuan untuk menampakkan hak (kebenaran
sejati) dan menegakkan hujjah atas validitasnya. Itulah esensi metode jadal
yang ada dalam Al-quran dalam upaya memberi petunjuk kepada orang kafir dan
mengalahkan para penentang Al-quran . Cara ini berbeda dengan perdebatan orang
yang memperturutkan hawa nafsu karena perdebatannya hanya merupakan persaingan
yang batil “...orang-orang kafir itu membantah dengan yang batil...”(QS
Al-Kahfi, 18:56).
Dalam
literatur lain disebutkan definisi “Al-Jadal” dan al-jidal, makna bertarung
dalam bentuk beradu dan tewas menewas. Asal kalimat ini ialah “saya menyimpul
tali” yakni.... apabila saya memperkemaskan simpulannya. “tali yang tersimpul”
ialah tali yang dikemas kuatkan simpulannya. Dengan maksud, seolah-olah mereka
yang berdebat saling menguatkan hujjah dan menyimpulkannya, sebagaimana beliau
menguatkan hujjahnya beliau akan dapat menewaskan lawanya.
Allah
menyatakan dalam al-Quran bahwa Jadal atau berdebat merupakan salah satu
tabiat manusia
“dan
manusia adalah makhluk yang paling banyak berdebatnya” (al-Kahfi; 59)
Dengan arti bahwa sesungguhnya manusia adalah
makhluk yang suka bersaing, berdebat dan selalu mempertahankan pendapat dan
fikirannya masing-masing. Rasulullah juga sebagai pengenban amanat ilahi
diperintahkan agar berdebat denan kaum musyrik dengan cara yang baik yang dapat
meredakan keberingasan mereka : “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pembelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling
baik” [3]
Dalam ayat yang lain Allah
memerintahkan agar Rasulnya tidak menuruti perdebatan mereka, malah beliau
mestilah menutup pintu perdebatan itu dengan cara yang paling ringkas dengan
mengatakan : Allah amat mengetahui apa yang kamu lakukan: firman Allah
“Dan
jika mereka membantah (mendebat) kamu, maka katakanlah Allah lebih mengetahui
apa yang kamu kerjakan” (al-Hajj: 22:68)
Disamping
itu Allah juga memperbolehkan ber-munazarah (berdiskusi) dengan ahli
kitab dengan cara yang baik. Firmannya :
“Dan
janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik” (al-Ankabut : 46 )
Metode Berdebat yang ditempuh al-Qur’an
Qur’an Karim dalam berdebat dengan para penentangnya
banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti
kalangan awan dan orang ahli, ia membatalkan setiap kerancuan vulgar dan
mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkrit
hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak
penyelidikan.
Qur’an tidak menempuh
metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang memerlukan adanya
muqadimmah (premis) dan nafiah (kongklusi), seperti dengan cara beristidlal
(inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kully (universal) atas yang juz’iy
(partial) dalam qiyas syumul, beristidlal dengan salah satu dua juz’iyat yang lain
dalam qias tamtsil, atau beristidlal dengan juz’iyat kully dalam kias istiqra.
Hal itu disebabkan:
a.
Qur’an
datang dalam bahasa Arab dan menyeru kepada mereka dengan bahasa yang mereka
ketahui.
b.
Bersandar
pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa
perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat
pengaruhnya dan lebih effective hujjahnya.
c.
Meninggalkan
pembicaraan yang jelas, dan menggunakan tutur kata yang pelik, merupakan
kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas).cara
demikian yang biasa ditempuh para ahli mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu
dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam
Qur’an merupakan dalalah tertentu yang dapat memberikan makna yang tunjuknya
secara otomatis tanpa harus memasukannya ke dalam qadiyah kuliyah (universal
position).
Syekh
al-Islam Ibnu Thaimiyah, salah seorang pemikir cendekiawan islam yang sangat
produktif dalam berkarya, mengatakan dalam kitab ar-radu’ala al mantiqiyin.
Dalil-dalil
analogi yang dikemukakan para ahli debat yang mereka namakan “bukti-bukti”
(barahin) untuk menetapkan adanya Tuhan, Sang pencipta, yang Maha Suci, dan
Maha Tinggi itu, sedikitpun tidak dapat menunjukan esensi dzat-Nya.[4]
Tetapi ia hanya menunjukan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu
sendiri tidak bebas dari kemusryikan. Jika kita mengatakan: “ ini adalah muhdas
(baru), dan setiap yang muhdas itu pasti mempunya muhdis (pencipta) “,atau” ini
adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib
“. Pernyataan seperti ini hanya menunjukan muhdis mutlak atau wajib. Konsepnya
pasti tidak bebas dari kemusryikan. Argumentasi mereka ini hanya menunjukan
pada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukan wajibul wujud
atau lainnya, tetapi dia hanya menunjuk pada sesuatu yang kulliy padahal
sesuatu yang kulliy itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan, sedangkan
wajibul wujud, pengetahuan mengenainya, dapat menghindarkan diri dari
kemusryikan. Barang siapa yang tidak mempunyai konsep tentang sesuatu yang
bebas dari kemusryikan, ia belum berarti telah mengenal Allah ... ini berbeda
dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam kitabnya : “sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya malam dan siang, bahtera apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu, DIA hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan DIA sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan “(Qs. Al Baqoroh; 2:164). “sesungguhnya pada
apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berakal, bagi kaum yang berfikir” menunjukan sesuatu yang tertentu, seperti
matahari yng merupakan tanda bagi siang hari. Demikian firmanNya: “kami
jadikan malam dan siang sebagai tanda, lalu kami hampuskan tanda malam dan kami
jadikan tanda siang itu terang agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan
supaya kamu mengetahui bilangan “( Qs Al isra:17;12)[5]
Ayat-ayat tersebut menunjukan esensi
Pencipta Yang Maha tunggal, Allah, tanpa serikat antara Dia dan lainnya. Segala
sesuatu selain Dia selalu membutuhkan-Nya. Karena itu, eksistensi segala
sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Sang Pencipta itu sendiri.
Dalil-dalil Allah atas ketauhidan-Nya, ma’ad
(hidup dan tempat kembali di akhirat)
yang diberitakan-Nya dan bukti-bukti yang ditegakkan oleh-Nya bagi
kebenaran rasul-rasul-Nya tidak memerlukan
qiyas-syumul atau qiyas-tamsyil. Tetapi, dalil-dalil
tersebut benar-benar menunjukan maknanya secara nyata. Pengetahuan tentang itu
menuntut pengetahuan dari dalil tersebut. Madlul-nya pun sangat jelas
bagi proses perpindahan pemikiran dari melihat sinar matahari ke pengetahuan
tentang terbitnya matahari itu. Inferensi semacam ini bersifat aksiomatik (badihi)
dan dapat dipahami oleh semua akal.
Sementara itu, Imam az Zakarsyi yang juga
salah seorang ulama tafsir termuka, berkata:
Ketahuilah
bahwa Al Qur’an telah mencangkup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu
dalilpun, satu bukti, atau definiai-definisi mengenai sesuatupun, baik berupa
persepsi akal maupun dalil naql yang universal, kecuali telah di bicarakan oleh
kitabuloh. Tetapi Allah mengemukakannya sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan
bangsa Arab, tidak menggunakan metode-metode berfikir ilmu kalam yang rumit.
Ini ada karena dua hal: 1. Mengingat firmannya bahwa kami tidak mengutus
seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya (QS. Ibrahim, 14;4);(2),orang
yang cendrung menggunakan argumentasi pelik dan rumit itu sebenarnya tidak
sanggup menegakan hujjah dengan kalam agung. Orang yang mampu memberi
pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara yang lebih jelas dan bisa
dipahami sebagian besar orang, tentu tidak akan perlu melangkah kecarayang
lebih kabur, rancu, dan berupa teke-teki yang hanya dipahami oleh segelintir
orang. Karena itu, Allah memeparkan seruan-Nya dalam berargumentasi dengan
makhluk-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang meliputi juga bentuk
paling pelik agar orang awam dapat memahami dari yang agung itu apa yang dapat
memuaskan dan bahkan mengharuskan mereka menerima hujjah, dan dari
celah-celah keagungannya kalangan ahli dapat memahami juga apa yang sesuai
dengan tingkat pemahaman para satrawan.[6]
Dengan pengertian itulah, sesungguhnya
setiap ayat itu mempunyai lahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai sesuatu hadd
dan matla. Ia tidak bisa diartikan dengan pendapat kaum batiniyah.
Dari sisi ini, setiap orang yang berilmu dan berpengatuhan lebih banyak tentu
akan lebih banyak pula pengetahuannya tentang ilmu Alquran. Itulah sebabnya,
ketika Allah menyebutkan hujjah atas rububiyah (ketuhanan) dan wahdaniyah-Nya
selalu dihubungkan, kadang-kadang, dengan “mereka yang berakal”, “mereka yang
mendengar”, “merekan yang berfikir”, dan “mereka yang mau menerima pelajaran”.
Langkah ini untuk mengingatkan bahwa setiap diri berpotensi , dan
potensi-potensi itu dapat digunakan untuk memahami hakikat hujjah-Nya.
Misalnya, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berakal (QS ar Ra’d 13: 4)
Ketahuilah bahwa terkadang tampak jelas
dari ayat-ayat Al-Quran melalui kelembutan pemikiran, panggalian, dan
penggunaan bukti-bukti rasional menurut
metode ilmu kalam,[7] antara
lain , pembuktian tentang Pencipta alam ini hanya satu, berdasarkan indikasi
yang diisyaratkan dalam firman-Nya : “ sekiranya ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah hancur binasa (QS
al-Anbiya, 21: 22 ). Seandainya alam ini mempunyai dua pencipta tentu
pengadilan dan peraturan keduannya tidak akan berjalan secara teratur dan
kokoh. Bahkan sebaliknya, bahwa kelemahan akan menimpa mereka atau salah
seorang dari keduanya. Itu terjadi karena andai-kata salah seorang dari
keduanya ingin menghidupkan suatu jisim, sedangkan lainnya ingin
mematikannya, dalam hal ini, tidak terlepas dari tiga kemungkinan: a) keinginan
keduanya dilaksanakan, meskipun akan menimbulkan kontradiksi karena mustahil
terjadi pemilihan kerja andai-kata terjadi kesepakatan diantara mereka berdua,
dan tidak mungkin dua hal yang bertentangan dapat berkumpul jika terjadi
kesepakatan; b) keinginan mereka tidak terlaksana, meskipun menyebabkan
kelemahan mereka; c) keinginan salah satunya tidak terlaksana, dan ini
menyebabkan kelemahannya, padahal Tuhan tidak mungkin bersifat lemah.
B.
Metode Jaddal Qur'an
Diantara metode alquran
dalam membantah para penentangnya adalah sebagai berikut:
1. API-Al-qur'an datang dalam Bahasa arab dan menyeru
mereka dengan Bahasa yang mereka mengerti, sehingga tidak ada lgi ungkapan yang
samar dari maksud ayat.
2. Al-qur'an dalam berdebat dengan para penentangnya
banyak mengemukakan dalil dan bukti yang kuat serta jelas dan dapat di mengerti
semua kalangan, baik awam maupun khusus [intelektual]
3. Al-qur'an dalam berdebat dengan para enentangnya tidak
mengunakan metode yang rumit dan tidak berupa teka-teki yang hanya di pahami
oleh segelintir orang, sehingga orang awampun dapat memahaminya
C.
Macam-macam jaddal Al-qur'an
Manna' al-Qaththan
menyebutkan macam-macam jaddal al-Qur'an sebagai berikut:
1. Menyebutksn ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah
melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan
dasar-dasar aqidah, seperti mengesakan Allah, iman kepada malaikat,
kitab-kitabnya, para rosulnya dan hari kemudian. Argumentasi macam ini banyak
di ungkap dalam al-Qur'an, diantaranya firman Allah yang artinya:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialahyang menjadikan bumi
sebagai hamparanbagimu dan langit sebagai atap, dan dia enurunkan air (hujan)
dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itt segala buah-buahan sebagai
reziki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui." (QS.Al-Baqarah: 21-22)
"Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya salam penciptaan langit dan
bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dana pa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi yang sudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang di
kendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-baqarah: 163-164).
2. membantah pendapat para penentang dan lawan serta
mematahkan argumentasi mereka. Cara semacam ini ermacam-macam, yaitu:
a. Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertayaan
tentang hal-hal yang telah diakui da diterima baik oleh akal, agar dia mengakui
apa yang telah di ingkari.
b. Beragumentasi dengan asal mula kejadian untuk
menetapkan hari kebangkitan.
c. Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan
kebenaran kebalikannya.
d. Menghimpun dan merinci bebrapa sifat dan menerangkan
bawa sifat-sifat trsebut bukanlah alasan (hukum).
e. Membungkam lawan dan mematahkan argumentasi dengan
menjelaskan bahwa pendapat ang dikemukakannya menimbulkan suatu pendapat yang
tidak diakui oleh siapapun.
D.
Penutup
A. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud jadal al-qur'an ialah
bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba-lomba untuk mengalakah lawan
dan mepertahankan pendapatnya sendiri untuk menjatuhkan lawannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Gufron
Mohammad,ulumul qur'an.Teras:ulumul qur'an2013
Drs. H Izzan
Ahmad, ulumul ur'an Bandung:Tafakur, 2011
Buchori Didin
Seafudin, al qur'an Bogor:Granada Sarana Pustaka, 2005
Prof. Dr.H,Ilyas
Yunahar, Lc, M.A.ulumul qur'an Yoyakarta:Itqan Publising, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar