Minggu, 26 Maret 2017

Pengertian Jaddal Qur'an

BAB II

PEMBAHASAN
  1. Pengertian Jaddal Qur'an
Secara bahasa jaddal  berasal dari kata جَدَلَ يَجْدَلُ جُدُولًا yang artinya صَلُبَ, adapun secara istilah jaddal dan jiddal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian جَدَلْتُ  الحَبْلُ yakni اَحْكَمْتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya.
Jadal dan jidal artinya bertukar pikiran (curah -gagasan) dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata-kata  jadala al-hadl, yakni ukhimat fatlah (aku kokohkan jalinan tali itu) mengingat kedua pihak itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawannya dari pendirian yang dipeganginya.[1]
            Allah berfirman dalam Al-quran bahwa jadal atau berdebat merupakan salah satu tabiat manusia.” Manusia adalah makhluh yang paling banyak debatnya (QS al-Kahfi 18:54), artinya manusia adalah makhluk yang paling banyak bermusuhan dan bersaing. Rasulullah SAW. juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum musyrikin dengan cara yang baik yang dapat mered[2]akan keberingasan mereka. “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah mereka dengan cara yang paling baik” (QS an-Nahl, 16: 125 ).
            Allah membolehkan hamba-Nya untuk ber-munazarah (berdiskusi) dengan Ahli kitab dengan cara yang baik pula “janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik” (QS al-Ankabut, 29 :46). Munazarah yang demikian itu bertujuan untuk menampakkan hak (kebenaran sejati) dan menegakkan hujjah atas validitasnya. Itulah esensi metode jadal yang ada dalam Al-quran dalam upaya memberi petunjuk kepada orang kafir dan mengalahkan para penentang Al-quran . Cara ini berbeda dengan perdebatan orang yang memperturutkan hawa nafsu karena perdebatannya hanya merupakan persaingan yang batil “...orang-orang kafir itu membantah dengan yang batil...”(QS Al-Kahfi, 18:56).

            Dalam literatur lain disebutkan definisi “Al-Jadal” dan al-jidal, makna bertarung dalam bentuk beradu dan tewas menewas. Asal kalimat ini ialah “saya menyimpul tali” yakni.... apabila saya memperkemaskan simpulannya. “tali yang tersimpul” ialah tali yang dikemas kuatkan simpulannya. Dengan maksud, seolah-olah mereka yang berdebat saling menguatkan hujjah dan menyimpulkannya, sebagaimana beliau menguatkan hujjahnya beliau akan dapat menewaskan lawanya.
            Allah menyatakan dalam al-Quran bahwa Jadal atau berdebat merupakan salah satu tabiat manusia
            “dan manusia adalah makhluk yang paling banyak berdebatnya” (al-Kahfi; 59)
 Dengan arti bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang suka bersaing, berdebat dan selalu mempertahankan pendapat dan fikirannya masing-masing. Rasulullah juga sebagai pengenban amanat ilahi diperintahkan agar berdebat denan kaum musyrik dengan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka : “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pembelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik” [3]
Dalam ayat yang lain Allah memerintahkan agar Rasulnya tidak menuruti perdebatan mereka, malah beliau mestilah menutup pintu perdebatan itu dengan cara yang paling ringkas dengan mengatakan : Allah amat mengetahui apa yang kamu lakukan: firman Allah
            “Dan jika mereka membantah (mendebat) kamu, maka katakanlah Allah lebih mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Hajj: 22:68)
            Disamping itu Allah juga memperbolehkan ber-munazarah (berdiskusi) dengan ahli kitab dengan cara yang baik. Firmannya :
            “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik” (al-Ankabut : 46 )
Metode Berdebat  yang ditempuh al-Qur’an
Qur’an  Karim dalam berdebat dengan para penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awan dan orang ahli, ia membatalkan setiap kerancuan vulgar dan mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkrit hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.
Qur’an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang memerlukan adanya muqadimmah (premis) dan nafiah (kongklusi), seperti dengan cara beristidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kully (universal) atas yang juz’iy (partial) dalam qiyas syumul, beristidlal dengan salah satu dua juz’iyat yang lain dalam qias tamtsil, atau beristidlal dengan juz’iyat kully dalam kias istiqra. Hal itu disebabkan:

a.       Qur’an datang dalam bahasa Arab dan menyeru kepada mereka dengan bahasa yang mereka ketahui.
b.      Bersandar pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih effective hujjahnya.
c.       Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan menggunakan tutur kata yang pelik, merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas).cara demikian yang biasa ditempuh para ahli mantiq (logika)  ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam Qur’an merupakan dalalah tertentu yang dapat memberikan makna yang tunjuknya secara otomatis tanpa harus memasukannya ke dalam qadiyah kuliyah (universal position).
Syekh al-Islam Ibnu Thaimiyah, salah seorang pemikir cendekiawan islam yang sangat produktif dalam berkarya, mengatakan dalam kitab ar-radu’ala al mantiqiyin.
Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat yang mereka namakan “bukti-bukti” (barahin) untuk menetapkan adanya Tuhan, Sang pencipta, yang Maha Suci, dan Maha Tinggi itu, sedikitpun tidak dapat menunjukan esensi dzat-Nya.[4] Tetapi ia hanya menunjukan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusryikan. Jika kita mengatakan: “ ini adalah muhdas (baru), dan setiap yang muhdas itu pasti mempunya muhdis (pencipta) “,atau” ini adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib “. Pernyataan seperti ini hanya menunjukan muhdis mutlak atau wajib. Konsepnya pasti tidak bebas dari kemusryikan. Argumentasi mereka ini hanya menunjukan pada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukan wajibul wujud atau lainnya, tetapi dia hanya menunjuk pada sesuatu yang kulliy padahal sesuatu yang kulliy itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan, sedangkan wajibul wujud, pengetahuan mengenainya, dapat menghindarkan diri dari kemusryikan. Barang siapa yang tidak mempunyai konsep tentang sesuatu yang bebas dari kemusryikan, ia belum berarti telah mengenal Allah ... ini berbeda dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam kitabnya : “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya malam dan siang, bahtera apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu, DIA hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan DIA sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan “(Qs. Al Baqoroh; 2:164). sesungguhnya pada apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal, bagi kaum yang berfikir” menunjukan sesuatu yang tertentu, seperti matahari yng merupakan tanda bagi siang hari. Demikian firmanNya: “kami jadikan malam dan siang sebagai tanda, lalu kami hampuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan “( Qs Al isra:17;12)[5]
      Ayat-ayat tersebut menunjukan esensi Pencipta Yang Maha tunggal, Allah, tanpa serikat antara Dia dan lainnya. Segala sesuatu selain Dia selalu membutuhkan-Nya. Karena itu, eksistensi segala sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Sang Pencipta itu sendiri.
      Dalil-dalil Allah atas ketauhidan-Nya, ma’ad (hidup dan tempat kembali di akhirat)  yang diberitakan-Nya dan bukti-bukti yang ditegakkan oleh-Nya bagi kebenaran rasul-rasul-Nya tidak memerlukan  qiyas-syumul atau qiyas-tamsyil. Tetapi, dalil-dalil tersebut benar-benar menunjukan maknanya secara nyata. Pengetahuan tentang itu menuntut pengetahuan dari dalil tersebut. Madlul-nya pun sangat jelas bagi proses perpindahan pemikiran dari melihat sinar matahari ke pengetahuan tentang terbitnya matahari itu. Inferensi semacam ini bersifat aksiomatik (badihi) dan dapat dipahami oleh semua akal.
       Sementara itu, Imam az Zakarsyi yang juga salah seorang ulama tafsir termuka, berkata:
Ketahuilah bahwa Al Qur’an telah mencangkup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu dalilpun, satu bukti, atau definiai-definisi mengenai sesuatupun, baik berupa persepsi akal maupun dalil naql yang universal, kecuali telah di bicarakan oleh kitabuloh. Tetapi Allah mengemukakannya sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab, tidak menggunakan metode-metode berfikir ilmu kalam yang rumit. Ini ada karena dua hal: 1. Mengingat firmannya bahwa kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya (QS. Ibrahim, 14;4);(2),orang yang cendrung menggunakan argumentasi pelik dan rumit itu sebenarnya tidak sanggup menegakan hujjah dengan kalam agung. Orang yang mampu memberi pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara yang lebih jelas dan bisa dipahami sebagian besar orang, tentu tidak akan perlu melangkah kecarayang lebih kabur, rancu, dan berupa teke-teki yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Karena itu, Allah memeparkan seruan-Nya dalam berargumentasi dengan makhluk-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang meliputi juga bentuk paling pelik agar orang awam dapat memahami dari yang agung itu apa yang dapat memuaskan dan bahkan mengharuskan mereka menerima hujjah, dan dari celah-celah keagungannya kalangan ahli dapat memahami juga apa yang sesuai dengan tingkat pemahaman para satrawan.[6]
      Dengan pengertian itulah, sesungguhnya setiap ayat itu mempunyai lahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai sesuatu hadd dan matla. Ia tidak bisa diartikan dengan pendapat kaum batiniyah. Dari sisi ini, setiap orang yang berilmu dan berpengatuhan lebih banyak tentu akan lebih banyak pula pengetahuannya tentang ilmu Alquran. Itulah sebabnya, ketika Allah menyebutkan hujjah atas rububiyah (ketuhanan) dan wahdaniyah-Nya selalu dihubungkan, kadang-kadang, dengan “mereka yang berakal”, “mereka yang mendengar”, “merekan yang berfikir”, dan “mereka yang mau menerima pelajaran”. Langkah ini untuk mengingatkan bahwa setiap diri berpotensi , dan potensi-potensi itu dapat digunakan untuk memahami hakikat hujjah-Nya. Misalnya, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal (QS ar Ra’d 13: 4)
      Ketahuilah bahwa terkadang tampak jelas dari ayat-ayat Al-Quran melalui kelembutan pemikiran, panggalian, dan penggunaan bukti-bukti  rasional menurut metode ilmu kalam,[7] antara lain , pembuktian tentang Pencipta alam ini hanya satu, berdasarkan indikasi yang diisyaratkan dalam firman-Nya : “ sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah hancur binasa (QS al-Anbiya, 21: 22 ). Seandainya alam ini mempunyai dua pencipta tentu pengadilan dan peraturan keduannya tidak akan berjalan secara teratur dan kokoh. Bahkan sebaliknya, bahwa kelemahan akan menimpa mereka atau salah seorang dari keduanya. Itu terjadi karena andai-kata salah seorang dari keduanya ingin menghidupkan suatu jisim, sedangkan lainnya ingin mematikannya, dalam hal ini, tidak terlepas dari tiga kemungkinan: a) keinginan keduanya dilaksanakan, meskipun akan menimbulkan kontradiksi karena mustahil terjadi pemilihan kerja andai-kata terjadi kesepakatan diantara mereka berdua, dan tidak mungkin dua hal yang bertentangan dapat berkumpul jika terjadi kesepakatan; b) keinginan mereka tidak terlaksana, meskipun menyebabkan kelemahan mereka; c) keinginan salah satunya tidak terlaksana, dan ini menyebabkan kelemahannya, padahal Tuhan tidak mungkin bersifat lemah.



B.     Metode Jaddal Qur'an
Diantara metode alquran dalam membantah para penentangnya adalah sebagai berikut:
1.      API-Al-qur'an datang dalam Bahasa arab dan menyeru mereka dengan Bahasa yang mereka mengerti, sehingga tidak ada lgi ungkapan yang samar dari maksud ayat.
2.      Al-qur'an dalam berdebat dengan para penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti yang kuat serta jelas dan dapat di mengerti semua kalangan, baik awam maupun khusus [intelektual]
3.      Al-qur'an dalam berdebat dengan para enentangnya tidak mengunakan metode yang rumit dan tidak berupa teka-teki yang hanya di pahami oleh segelintir orang, sehingga orang awampun dapat memahaminya
C.    Macam-macam jaddal Al-qur'an
Manna' al-Qaththan menyebutkan macam-macam jaddal al-Qur'an sebagai berikut:
1.      Menyebutksn ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar aqidah, seperti mengesakan Allah, iman kepada malaikat, kitab-kitabnya, para rosulnya dan hari kemudian. Argumentasi macam ini banyak di ungkap dalam al-Qur'an, diantaranya firman Allah yang artinya:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialahyang menjadikan bumi sebagai hamparanbagimu dan langit sebagai atap, dan dia enurunkan air (hujan) dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itt segala buah-buahan sebagai reziki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS.Al-Baqarah: 21-22)
"Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya salam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dana pa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi yang sudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang di kendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-baqarah: 163-164).
2.      membantah pendapat para penentang dan lawan serta mematahkan argumentasi mereka. Cara semacam ini ermacam-macam, yaitu:
a.       Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertayaan tentang hal-hal yang telah diakui da diterima baik oleh akal, agar dia mengakui apa yang telah di ingkari.
b.      Beragumentasi dengan asal mula kejadian untuk menetapkan hari kebangkitan.
c.       Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan kebenaran kebalikannya.
d.      Menghimpun dan merinci bebrapa sifat dan menerangkan bawa sifat-sifat trsebut bukanlah alasan (hukum).
e.       Membungkam lawan dan mematahkan argumentasi dengan menjelaskan bahwa pendapat ang dikemukakannya menimbulkan suatu pendapat yang tidak diakui oleh siapapun.

D.    Penutup
A.    Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud jadal al-qur'an ialah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba-lomba untuk mengalakah lawan dan mepertahankan pendapatnya sendiri untuk menjatuhkan lawannya masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA

Gufron Mohammad,ulumul qur'an.Teras:ulumul qur'an2013
Drs. H Izzan Ahmad, ulumul ur'an Bandung:Tafakur, 2011
Buchori Didin Seafudin, al qur'an Bogor:Granada Sarana Pustaka, 2005
Prof. Dr.H,Ilyas Yunahar, Lc, M.A.ulumul qur'an Yoyakarta:Itqan Publising, 2014




Ulumul quran, hal. 227[1]

[3] Surah al-kahfi 18:56
[4] Ulumul quran, Drs.H.Ahmad Izzan. Hal. 229
[5] QS.al-Isra : 17:12
[6] Ulumul quran edisi revisi. Hal. 230
[7] Ulumul quran Drs,H.Ahmad Izzan. Hal 231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar