Kamis, 23 Maret 2017

HASIL FILSAFAT PARA AHLI

BAB I
PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang Masalah
Diantara persoalan penting yang di hadapi oleh pendidikan Islam selama ini adalah adanya kenyataan menunjukan kiblat pendidikan Islam yang belum jelas. Pendidikan Islam masih belum menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini selain karena banyaknya konsep pendidikan yang ditawarkan para ahli yang belum jelas keislamannya,  juga karena belum banyak pakar pendidikan Islam yang merancang masalah pendidikan Islam secara seksama. Hal ini bisa terjadi karena belum banyak diperkenalkan pemikiran kependidikan yang dikemukakan para filosof muslim, seperti al-Ghozali, Ibn Sina, Muhammad Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Padahal para ilmuan muslim telah banyak menyumbangkan gagasan-gagasan brilian bagi pendidikan Islam. Karena itu kita tidak boleh melupakan atau bahkan menafikan mereka agar pendidikan Islam menemukan kembali jati dirinya.
        B.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimana pemikiran pendidikan dari Ibn Sina?
2.       Bagaimana pemikiran pendidikan dari al-Ghazali?
3.       Bagaimana pemikiran pendidikan dari Muhammad Rasyid Ridha?
4.       Bagaimana pemikiran pendidikan menurut Ibnu Kholdun?

          C.     Tujuan
1.       Dapat mengetahui pemikiran pendidikan Ibn Sina.
2.       Dapat mengetahui pemikiran pendidikan al-Ghozali.
3.       Dapat mengetahui pemikiran pendidikan Muhammad Rasyid Ridha.
4.       Dapat mengetahui bagaimana pemikiran pendidikan oleh Ibnu Kholdun.








BAB II
PEMBAHASAN

1.         IBNU SINA
     A.    Sosok Sang Ilmuwan Ibnu Sina
Ibnu Sina bernama lengkap Abu ‘Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina.Ia lahir pada tahun 370 H/980 m di Afshana ( Kharmisin ). Secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismi’iliyah, pemikiran Ibnu Sina independen dengan tingkat kecerdasan dan ingatan yang luar biasa. Banyak orang yang mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya ( child prodigy ). Sejarah mencatat, bahwa ia memulai pendidikan nya pad usia 5 tahun di kota kelahiran nya bernama Bukhara. Pengetahuan yang ia pelajari ialah al-Qur’an, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam. Berkat ketekunan dan kecerdasan nya, pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur’an dan ‘alim dalam berbagai ilmu keislaman yang berkembang saat itu, seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat, logika dan pengobatan.
      B.     Hakikat Manusia Menurut Ibnu Sina
Pembahasan tentang Ibnu Sina tidak pernah terlepas dari pemikiran nya tentang manusia, khususnya tentang jiwa. Meskipun  ia sebagai seorang seorang. Secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani.
Menurut Ibnu Sina, untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlikan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia. Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya. Jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang maka orang orang orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan,maka ia memperoleh kesenangan dunia akhirat.

     C.    BEBERAPA GAGASAN IBNU SINA TENTANG PENDIDIKAN
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina adalah “pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna yaitu perkembangan fisik,intelektual dan budi pekerti”. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibbnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Ibnu Sna bersifat hirarkis-struktural. Artinya disampping memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat universal (tujuan akhir) juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat kurikuler atau tiap bidang study dan tujuan yang bersifat operasional.
2.      Kurikulum
Kurikulum menurut ibnu Sina dirumuskan dengan berdasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik yaitu,
Pertama, usia 3 sampai 5 tahun. Pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olahraga budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Kedua, usia 6 sampai 14 tahun. Kurikulum untuk usia 6-14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencangkup pelajaran membaca dan menghafal al- qur’an, pelajaran agama, pelajaran syair, dan pelajaran olahraga. Jika pada usia 3 – 5 tahun lebih ditekan kan pada aspek aspektif atau pendidikan ahklak maka usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif.
Ke tiga, usia 14 tahun ke atas. Pada usia 14 tahun keatas Ibnu Sina memandang pelajaran yang harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelum nya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas sangat banyak jumlahnya namung pelajaran tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, jadi pada usia ini anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu,
3.      Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran menurut Abuddinnata diantara metode yang ditawarkan Ibnu Sina adalah metode Talkim, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
Dari metode tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan, yaitu (1) pemilihan dan pnerpan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran;992) metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologis anak didik ,termasuk bakat dan minat anak;(3) metode yang ditawarkan tidaklah kaku,akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik;(4) ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran .
4.      Konsep Guru
Ibnu Sina menginginkan seorang guru memiliki kompetensi keilmuan yang bagus,berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak-anak didiknya. Hal ini penting,sebab jika guru tidak memiliki wawasan yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki kharismatik,akan sulit didapat,meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.

    D.    AKTUALISASI PEMIKIRAN IBNU SINA DI ZAMAN SEKARANG
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan islam berikut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibnu Sina adalah sebagai berikut.
Pertama ; penting nya anak usia dini. Hal ini penting karena pada masa ini akan menentukan karakter dan tingkat perkembangan pendidikan anak pada masa yang akan datang.
Ke dua ; pentingnya pendidikan ahklak, dalam hal ini perlu ada perubahan paradigma bahwa persoalan ahklak bukan hanya tugas guru agama saja, akan tetapi juga menjagi tugas semua guru.
Ke tiga ; pendidikan al-Quran sebagai model dalam upaya ini, diharapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Quran serta akan lahir generasi penerus Ibnu Sina sebagai ulama yang ilmuwan atau ilmuwan yang ulama,
Ke empat ; pendidikan yang berorientasi kepada jiwa ( an-naff ). Pendidikan yang berorientasi pada jiwadapat mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk kepribadian yang berahklak mulia.
Ke lima ; perlu membangun paradigma pendidikan non-dikotomik atau pendidikan integralistik. Dalam konteks pendidikan di indonesia paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya istilah pendidikan umum dan pendidikan agama seringkali menimbulkan paragigma hisotonok yang mempertentangkan anatara satu ilmu dengan yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan eberapa persoalan,seperti: ilmu yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah ,sikap beragama hanya urusan privasi seseorang,pembinaan akhlak,tugas guru agama yang banyak berbicara tentang nilai,kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat dan sebagainya. Oleh karena itu ,pemikiran Ibnu Sina ini  patut diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia indonesia yang berkualitas: beriman,bertaqwa,dan berakhlak mulia serta cerdas dalam menyelesaikan persolan sehingga menemukan jkebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.

2.       IMAM AL GHAZALI
A.    Sosok Pribadi Imam Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali dilahirakan di Thus ,sebuah kota  di Khurasan,Persia pada tahun 450H 1058 M. Imam Al Ghazali dikenal sebagai sosok pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung pencari kebenaran yang hakiki. Pada masa kanak-kanak beliau belajar kepada Ahwad bin Muhammad ar-Radzikani di Thus kemudian belajar pada Abi an Nash al Ismaili di Jurjanni dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Sesudah itu ia kembali ia pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama yang ternama yaitu Al Juwaini ,Imam Al Haramain. Adri beliau ini dia belajar ilmu kalam ,ilmu ushul dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara karya-karya kitab beliau adalah Al Basith,Khulasahah Ilmu Fiqih,Al- Munqil Fi Ilm Al Jadal,Makhhad L-Khalaf,Lubab An-Nadzar,Tasin Al-Maakhidz,Dan Mabadi Wa Al Ghayat Fi Fann Al Khalaf.

B.     KONSEP PENDIDIKAN AL –GHAZALI
Pengertian pendidikan menurut Imam Al Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik[1]. Dari pernyataan diatas ,al Ghazali menitik beratkan perilaku manusia  yang sesuai dengan agama Islam sehingga dalm melakukan suatu proses diperlukan suatu proses yang indoktrinatif atau sesuatu yang dijadikan mata pelajaran. Secara sistematik bangunan keilmuan/kependidikan Ghazali bisa dijelaskan sebagai berikut:
(1)   Ilmu yang disyariatkan adalah ilmu yang disandarkan kepada Nabi SAW. (2) ilmu yang tidak disyariatkan adalah ilmu yang tidak disyariatkan kepada Nabi SAW dan  diperoleh melalui penalaran akal,pengalaman,pendengaran dan sebagainya. (3).  Ilmu yang terpuji (al ilm al mahmud) adalah ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia,seperti dokter,berhitung,dan sebagainya.(4). llmu yang wajib sebagian (fardlu kifayah) adalah ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan yang cukup dipelajari oleh sebagian secara spesialis-profesional.(5)ilmu yang diutamakan(ilmu fadilah) adalh ilmu yang lebih diutamakan dari pada ilmu wajib kifayah. (6)ilmu yang tercela(al ilm ala madzmum) adalah ilm yan tidak dikehendaki oleh syariat sepeti ilmu sihir,jimat dan lain sebagainya.(7) imu yang mubah atau diperbolehkan seperti halnya ilmu sastra,ilmu sejarah dan sebagainya. Semua ilmu yang digariskan harus dijewantahkan melalui pendidikan sejak dini. Karena sejak kecil anak telah memiliki insting kejiwaan-keilmuan yang harus dibangun melalui pendidikan.
Menurut Imam Ghazal tujuan akhir dari pendidikan ada 2,yaitu ,pertama,tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah,kedua,kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral dan tanpa mengabaikan masaah duniawi. Hal ini sejalan dengan pemikiran al Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan menurut Imam Al Ghazal adalh kesempurnaan insani dunia dan akhirat.
Dalam kitabnya ihya ulumuddin al Ghazali menyatakan sebagai berikut : “Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia alat yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu,orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat pesinggahan,bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tinggal yang kekal dan negeri yang abadi.” Dengan demikian maka jelas bahwa tujuan pendidikan menurut Imam Ghazal adalah kesempurnaan manusia di dunia dan di akhirat. Meski demikian beliau tidak mengabaikan pentingnya menuntut ilmu yangbersifat fardlu kifayah sesuai dengan tuntutan zaman.  Menurut pandangan al Ghazali ,ilmu adalah amal utama yang paling utama baik yang bersifat fardlu ‘ain maupun fardlu kifayah. Dengan kata lain tujuan pendidikan menurut Imam Ghazali harus mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak,dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedududkan yang tingi atau mendapatkan kemegahan dunia.

C.    METODE PENGAJARAN
Imam al Ghazali lebih mengkhususkan pengajaran agama bagi anak-anak dalam metode pengajaranya. Untuk ini ia telah mengajarkan suatu metode keteladanan bagi mental anak-anak,penanaman budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka . selanjutnya sebagaimana yang dikatakan oleh  Abidin (1998:97) bahwa “metode pengajaran menurut Al Ghazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama dan pendidikan akhlak”. Metode pendidikan agama menurut al Ghazali ,pada prinsipnya dimulai dengan hafalan  dan pemahaman,kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran,setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang menguatkan akidah. Sekanjutnya Sulaiman (1993:61) “al ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan pada anak-anak sedini mungkin. Sebab yang demikian lantaran dalam tahun-tahun tersebut,seorang anak ,mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama semata-mata dengan mengimankan saja dan tidak dituntut untu mrncari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan pendidikan aklak,bahwa pengajaran harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Sehingga Al-Ghazal berpendapat bahwa “akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di alam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikian dan pertimbangan”. Selanjutnya menurut Zaenuddin (1990:75),prinsip metodologi pendidikan modern selalu menunjukkan aspek berganda. Suatu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek lainnya menunjukkan aspek guru mengajar dan mendidik.
Asas-asas metode belajar
1.      Memusatkan pehatian sepenuhnya
2.      Mengetahui tujuan ilmu pengetahan yang akan dipelajari
3.      Memepelajari ilmu pngetahuan dari yang sederhana menuju yang komplek
4.      Mempelajar ilmu pengetahuan dengan sistematika pembahasan
Asas-asas metode mengajar :
1.      Memeperhatikan tingkat daya pikir anak
2.      Meneangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya
3.      Mengajrkan ilmu pengetahuan dari yang kongkrit menuju yang abstrak
4.      Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur
Asas metode mendidik
1.      Memberikan latihan-latihan
2.      Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat
3.      Melindungi anak dari pergaulan yang buruk

     A.    RIWAYAT SINGKAT RASYID RIDHO
Dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan Tarablus Syam tahun 1282-1354H/1865-1935M. Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil Tsani tahun 1282H/18 Oktober tahun 1865M.[2] Diantara karangan-karanganya Rasyid Ridha adalah Tafsir al-Manar, Syubuhat An-Nashara dan Hujaj Al-Islami, Al-Wahyu Al-Muhammadi, Nida li Al-Finsi Al-Lathief dan Yusru Al-Islam wa Ushulu At-Tasyri’ Al-Am. Meninggal pada tahun 1935 karena kecelakaan mobil. Terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan pulang dari kota Suez menuju kota Kairo.

      B.     PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RASYID RIDHO
Rasyid Ridho dikenal sebagai seorang tokoh pembaharu abad XIX yang produktif memberikan gagasan pemikiran dalam dunia Islam.
Di bidang pendidikan, Rasyid Ridho berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang pendidikan sebagai instrumen dan wahana pengembangan diri yang berkualitas. Oleh karenanya, dia banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaanya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Rasyid Ridho pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Selain itu, mengingat pentingnya posisi pendidikan terhadap umat Islam, Rasyid Ridho juga sangat memperhatikan pendidikan perempuan.
Secara umum, Rasyid Ridho memandang bahwa pendidikan bagi setiap muslim mutlak adanya. Menurutnya, jika manusia diciptakan sebagai penopang kebahagiaan dan poros bagi kebaikan semua persoalan agama dan dunianya, maka setiap individu dari umat Islam harus berupaya sekuat tenaga mengerahkan kekuatan akal dan materinya untuk mendapatkan keutamaan melalui pendidikan.[3]
Melalui pendidikan, menurut Rasyid Ridho dimungkinkan terwujud ikatan sosial dan keadilan sosial, terungkap berbagai pengetahuan dan kreasi-kreasi baru yang mengandung manfaat, dan terkuak berbagai kemampuan dan kesiapan individu-individu guna merealisasikan kemajuan, kesatuan, dan persatuan. Sealin itu, melalui pendidikan pula dimungkinkan memahami agama sebagaimana ulama salaf memahaminya serta meninggalkan kejumudan dan keyakinan-keyakinan menyimpang, sehingga kemuliaan Islam bisa kembali lagi dan kembali menghampiri para pemeliknya.
Jika dianalisis pandangan-pandangan pendidikan Rasyid Ridho di atas, maka kesimpulan logis dari pandangan ini memberikan kesimpilan bahwa pendidikan itu harus menjadi suatu yg wajib diadakan disetiap tempat, diberikan kepada setiap individu umat, dengan asumsi bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan spirit yang menjadi nafas bangsa dan umat.
Rasyid Ridho mendasarkan pandangan tentang pentingnya pendidikan dan pemudahan jalan bagi itu pada dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Sunnah. Rasyid Ridho memberikan argumentasi, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an maupun al-Sunnah banyak berbicara persoalan keimanan, pengetahuan, amal shaleh, ibadah dan muamalah baik kepada kaum laki-laki maupun kepada kaum peremuan. Yang pasti, menurutnya, Allah SWT telah memperuntukan bagi perempuan segala sesuatu seperti yang diperuntukan bagi kaum laki-laki, kecuali sedikit ada perbedaan lantaran perbedaan tabi’at (seperti hamil dan menyusui) dan tugas wanita dipandang dari segi hukum.[4]
Atas dasar pandangan inilah, Rasyid Ridho mengakui adanya hak-hak perempuan untuk mengikuti pendidikan. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan kaum perempuan sangat diperhatikan oleh Rasyid Ridho. Ia mengatakan bahwa, terdapat ajakan untuk memberi pendidikan pada perempuan dengan pendidikan yang bebas, sama dengan pria dalam berbagai hal, sehingga mereka tidak ada perbedaan satu sama lain.[5]
Disimpulkan pada prinsipnya Rasyid Ridha tidak mempermasalahkan pemberian kesempatan yang sama kepada kaum perempuan untuk berkompetisi dalam memperoleh ilmu pengetahuan di semua lembaga pendidikan, baik di tingkat formal maupun non formal. Hanya saja, Rsyid Ridho memiliki pandangan lain yang berkisar pada pelaksanaan pendidikan di mana di dalamnya terjadi pencampuran atau penggabungan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan yang dikenal dengan istilah koedukasi.
Percampuran belajar antara peserta didik laki-laki dan perempuan dalam satu tempat yang dikenal dengan coeducational class menurut pandangan Rasyid Ridho adalah suatu hal yang tidak baik. Rasyid Ridho tidak setuju bila murid laki-laki dicampur dengan murid perempuan dalam al-kuttab,sehingga peserta didik tersebut harus belajar sampai usia baligh (dewasa).[6] Menurutnya, guru yang paling tidak disukai adalah guru yang mengajar anak-anak perempuan remaja, kemudian mereka dicampur dengan anak-anak laki-laki remaja. Hal demikian akan menimbulkan kerusakan terutama bagi anak perempuan remaja.
Salah satu alasan mengapa Rasyid Ridho berpegang teguh pada pendapatnya itu adalah karena ia khawatir kalau anak-anak itu sendiri menjadi rusak moralnya. Hal demikian dalam pandanganya dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa kecuali bila anak remaja yang telah balig tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa). Selain itu, sikap Rasyid Ridho yang tidak sependapat dengan pencampuran laki-laki dan perempuan dalam satu tempat belajar, antara lain didasarkan pada pandangannya bahwa dorongan syahwat biologis (seksual) termasuk dorongan yang paling kuat, dan jika berdekatan dengan wanita dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran seksual yang dapat merendahkan martabatnya dan menjauhkan dari keimanan dan ketakwaan yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, sikap Rasyid Ridho dalam konteks ini tampak lebih didasarkan pada sikap yang amat hati-hati dalam menjaga moral agama. Di sini terlihat dengan jelas betapa prinsipnya yang demikian kuat berpegang kepada agama dan taat beribadah kepada Allah SWT. Rasyid Ridho menegaskan, bahwa yang perlu diperhatikan secara serius dalam masyarakat Islam adalah menegakan kewajiban memisah antara jenis laki-laki dan perempuan, mengajak kepada mereka utikan secara serius dalam masyarakat Islam adalah menegakan kewajiban memisah antara jenis laki-laki dan perempuan, mengajak kepada mereka untuk menghindari dari kedekatan untuk menghindari dari kedekatan untuk berbuat zina.
Pendapat Rasyid Ridho, tampak kuno dan tidak diterima masyarakat modern yang menuntut kesamaan derajat dan kemitraan sejajar. Dalam hubungan ini Rasyid Ridho menilai, sungguhpun pendapatnaya terkesan kuno, namun pendapat itulah ydan kemitraan sejajar. Dalam hubungan ini Rasyid Ridho menilai, sungguhpun pendapatnaya terkesan kuno, namun pendapat itulah yang sesuai dengan ajaran agama Islam, karena anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan kuat untuk mempertahankan dan menjaga kehormatan (jenis kelaminnya) hingga sampai mencapai umur dewasa. Konsistensi sikap dan pandangan Rasyid Ridho terkait koedukasi ini, tidak terlepas dengan kompetensinya pada bidang fiqih yang berdasarkan pada Al-qur’an dan as-Sunnah. Rasyid Ridho menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.
Alasan penolakan Rasyid Ridho terhadap sistem koedukasi, karena ia memandang dari segi positif dan negatifnya percampuran tersebut. Menurutnya, percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan belajar sangat banyak sisi negatifnya, dan tidak memandang adanya segi positif atau manfaat dari sistem koedukasi tersebut. Bahkan ia melihat bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka.[7]
Menurut Rasyid Ridha, tradisi sistem edukasi merupakan adopsi dari orang-orang Eropa, bukan dari pengetahuan sempurna dan kebebasan berfikir, bukan pandangan yang halus dan lembut dan bukan pula dari hasil pertimbangan yang mendapatkan manfaat. Dengan demikian, Rasyid Ridho menolak adanya koedukasi itu dari segi negatifnya, dan tidak memandang adanya segi positif atau manfaat dari sistem koedukasi dalam pendidikan Islam.
Alasan-alasan penolakan Rasyid Ridho terhadap sistem koedukasi, paling tidak didasaria atas pertimbangan beberapa keburukan. Di antara keburukan koedukasi tersebut menurut Rasyid Ridho adalah sebagai berikut:
Pertama, dengan sistem koedukasi, antara laki-laki dan perempuan berkumpul di sekolah, maka kedua jenis itu akan potensial mengalami kesibukan hati, saling curi pandang, saling berbicara. Kesemuanya itu dapat mempengaruhi daya nalar terhadap ilmu. Selanjutnya Rsyid Ridho mengemukakan, bahwa dengan saling berdekatan akan mengobarkan perasaan dan hubungan pergaulan yang akan membangkitkan kehangatan, sehingga dapat memicu timbulnya perasaan dengan kecenderungan untuk menaruh perhatian terhadap lain jenis (baik laki-laki maupun perempuan).
Kedua, dengan saling berdekatan akan mengundang kepada saling mempertukarkan rhasia dan perasaan serta memperpanjang hubungan sehingga dapat mengundang bergolaknya syahwat seksual. Hal tersebut dapat menjadi penghalang menuntut ilmu, oleh karena boleh jadi membawa daya percepatan untuk menikah, bahkan dapat melakukan perbuatan zina.
Ketiga, dengan percampuran laki-laki dan perempuan di sekolah dalam berbagai tingkatan dan umur perupakan permulann yang dapat mengantarkan pada percampuran dengan segala bentuknya, seperti dansa, berenang, menadakan perjalanan bersama, saling berkawan dan berpasang-pasangan yang dpat mengarahkan pada pelanggaran norma-norma agama maupun masyarakat yang ada. Dan hubungan ini pun dapat berlanjut bukan saja di sekolah, akan tetapi lebih jauh lagi di luar sekolah.
Keempat, bahwa pervampuran antara laki-laki dan perempuan meruntuhkan berbagai hukum agama dan tatakrama.
Berdasarkan alasan-alasan yang mendasar tidak diterimanya konsep koedukasi oleh Rasyid Ridha, maka itu menjadi dasar pemikiran Rasyid Ridha agar wanita diberi pendidikan khusus yang terpisah dari laki-laki. Ia juga menekankan bahwa lingkungan utama bagi pendidikan perempuan adalah keluarga. Pendidikan kaum perempuan di setiap lembaga pendidikan harus selaras dengan watak dasar yang telah di-fitrahkan Allah SWT kepadanya. Oleh sebab itu, pendidikan keagamaan harus menjadi patokan utama dalam mendidik dan mengajar anak-anak perempuan, di samping sisi-sisi lain yang juga diajarkan sehingga nantinya bisa mengurus keluarga dan rumah tangganya dengan baik. Mereka harus diajarkan kecintaan kepada keluarga, keramah-tamahan, kebersihan, kasih sayang, pemenuhan hak-hak suami, adil dalam membelanjakan harta dan segala hal yang terkait dengan pengajaran urusan rumah tangga, menjaga anak, ilmu hitung, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan geografi.[8]
Berdasarkan pandangan Rasyid Ridha terhadap sistem koedukasi dalam pendidikan di atas, sesungguhnya ia berpandangan demikian tidak lebih sebagai bagian konsistensi Rasyid Ridho untuk tetap menjaga norma dan nilai-nilai agama dalam proses penyelenggaraan pendidikan, agar setiap generasi yang terdidik tetap terjaga dari kerusakan iman dan akhlak yang ditimbulkan dari percampuran atau pembauran antar laki-laki dan perempuan yang bebas dan kadang kurang terkontrol oleh sistem pendidikan yang ada di setiap lemgaba pebdidikn.
Pandangan “ekstrim” Rasyid Ridha terhadap penolakan sistem koedukasi dalam pendidikan, diasumsikan ia lebih menekankan pada tujuan atau hasil dari pendidikan campuran ini. Dengan demikian, diharapkan pendidikan menurut Rasyid Ridha mampu menghasilkan tokoh-tokoh pendidikan dari perempuan muslim, yang justru berupaya lebih memikirkan masa depan wanita.
Menanggapi pandangan Rasyid Ridha , tentunya mengugah dunia pendidikan untuk lebih berhati-hati terhadap penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam, yang mesti dipahami secara arif, bijaksana dan kondisional dalam meraih tujuan pendidikan yang ideal pada setiap ruang dan waktu. Utamanya bagi pengelola lembaga pendidikan untuk tetap konsisten menjaga norma-norma Islami dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat eksisi melahirkan generasi yang teguh aqidahnya, dan luas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta terampil dalam mengolah hidupnya.
PENUTUP
Kedudukan antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif Rasyid Ridha adalah sama dan setara. Ia memandang bahwa pemberian hak kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan harus dilihat sebagai hak dasar perempuan yang tidak boleh dihalang-halangi. Pendidikan di sini harus dilihat sebagai proses pemberdayaan, pembebasan, pencerdasan, pembudayaan, dan proses pemanusiaan secara berkeadialn dan proporsional. Adapu perspektif Rasyid Ridho yang secara tegas menolak sistem koedukasi dalam pendidikan bukan berarti diskriminasi gender, akan tetapi ia melihatnya dari perspektif dan pertimbangan moral dalam pergaulan pendidikan.


A.        RIWAYAT SINGKAT IBNU KHOLDUN
Berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan bermula dari presentasi ensiklopedia ilmu pengetahuannya. Hal ini merupakan jalan untuk membuka teori tentang pengetahuan dan presentasi umum mengenai sejarah sosial dan epitomologi berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari pemikiran yang alami. Sedangkan pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan hasilnya, serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan atau seseorang yang berkuasa.

B.        KONSEP DAN TUJUAN PENDIDIKAN
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan. Menurutnya paling tidak ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu peningkatan kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia, peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena social yang ada disekitarnya.

C.        KURIKULUM DAN MATERI PENDIDIKAN
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik dalam pemikiran Ibnu Khaldun meliputi tiga hal, yaitu: pertama, kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.      Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.      Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
·         Ilmu logika
·         Ilmu fisika
·         Ilmu metafisika
·         Ilmu matematika
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
a.       Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
b.      Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
c.       Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
d.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.[9]

D.        METODE PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN
Ibnu khaldun menetapkan bahwa metode mengajar, sebaiknya, harus diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya (Guidance ancausile), karena dipandang pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metode itu. Maka seolah-olah metode dan materi merupakan satu kesatuan, padahal ia bukanlah bagian dari materi pelajaran, yang bukti-buktinya ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa dikalangan tokoh pendidikan terdapat metode-metode yang berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang berkemampuan mengajar berpendapat bahwa kedayagunaan metode yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid bergantung pada sejauh mana kematangan persiapan guru dalam mempelajari hidup kejiwaan anak-anak didiknya. Sehingga diketahui sejauh mana kematangan kesiapan mereka dan bakat-bakat ilmiahnya.
Maka jelaslah bahwa pendapat di atas sampai batas-batas tertentu sesuai dengan pandangan ilmu pendidikan modern[10].

Berikut ini metode-metode pengajaran dan pendidikan yang ditawarkan Ibnu Khaldun
1.      Metode Pentahapan dan Pengulangan (Tadarruj Wat Tikrāri)
Menurut Ibnu Khaldun, mengajarkan anak-anak atau remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat menrima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan, lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan penjelasan dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya anak-anak tersebut serta kesiapan kemampuan menerima apa yang diajarkan.
Kemudian guru mengulangi lagi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai kepada taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas, setelah itu beralih dari uraian yang global kepada uraian yang hingga tercapai tujuan akhirnya yang terakhir, kemudian diulangi sekali lagi pelajaran tersebut, sehingga tidak lagi terdapat kesulitan murid atau anak untuk memahaminya dan tak ada lagi bagian-bagian yang diragukan.
Pengulangan secara bertingkat ini, menurut pendapat beliau, sangat besar faedah dalam upaya menjelaskan dan memntapkan ilmu ke dalam jiwa anak serta memperkuat kemampuan jiwanya untuk memahami ilmu. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah kemahiran anak dalam mengamalkannya, serta mengambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Alasan mengulang-ulang sampai beberapa kali (tiga kali) adalah karena kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan atau seni berlangsung secara bertahap.
Metode tersebut benar-benar sejalan dengan teori-mengajar yang terbaru yang menyatakan bahwa pentahapan pemahaman anak memerlukan pemahaman tentang perkembangan jiwa yang berlangsung secara berbeda-beda bagi masing-masing anak. Dengan cara mengulang-ulangi akan membawa anak kepada ketelitian yang menjadi salah satu faktor dari sistem belajar praktis. Memang benar jika dikatakan bahwa mengulang-ulangi berbuat sesuatu akan menimbulkan keseimbangan dan memudahkan pemantapan ingatan dan menumbuhkan sistem berpikir yang teratur dalam jiwa anak.
Metode pengulangan yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun tersebut adalah sesuai dengan metode atau langkah-langkah belajar murid dalam pendidikan modern yang merupakan persyaratan dalam proses penyusunan pengalaman murid yang terbentuk secara berurutan. Hal ini berarti bahwa pengulangan pengalaman yang berkali-kali berbeda ke dalam intensitasnya dalam kemajuan belajar anak.
Psikologi modern memandang bahwa pengulangan itu merupakan salah satu metode belajar yang baik, karena dapat memperbaiki pengetahuan pada tahap permulaannya yang sesuai dan benar dengan teori – kemampuan menangkap perngertian menusia terhadap obyek pengalaman (seperti telah diuraikan dalam teori Gestalt).
Teori pertama menetapkan bahwa manusia mengamti benda-benda dengan secara keseluruhan pada permulaannya, kemudan semakin nampak rinciannya. Teori demikian telah diungkap oleh Ibnu Khaldun sebelum teori Gestalt, maka menjadilah totalitas pengetahuan anak pada permulaan pengamatan, baru kemudian nampak rincian-rinciannya memang berlangsung menurut tabiat akal-pikiran dalam proses pengamatan indrawi terhadap benda-benda[11].
2.      Menggunakan Sarana Tertentu untuk Menjabarkan Pelajaran
Ibnu Khaldun mendorong kepada penggunaan alat-alat peraga, karena anak pada waktu mulai belajar permulaannya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatannya. Alat-alat peraga itu membantu kemampuan memahami ilmu yang diajarkan kepadanya, dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak bergantung pada panca inderanya dalam proses penyusunan pengalamannya. Dalam pekerjaan mengajar alat-alat peraga tersebut merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan, di samping itu juga alat peraga ini menjadikan pengetahuan anak bersentuhan dengan pegalaman indrawi yang hakiki.
Maka dari itu makna yang terkandung di dalam metoda ini adalah lebih memudahkan anak memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan serta memperkecil pemahaman yang buruk, dan sebagainya.
Jadi dengan demikian Ibnu Khaldun mendahului zamannya dengan pendapat-pendapat beliau yang terbukti sesuai dengan pandangan ilmu pendidikan modern[12].
3.      Widya-wisata merupakan Alat untuk Medapatkan Pengalaman yang Langsung
Ibnu Khaldun mendorong agar melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sember-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat eksploratif anak, dean pengetahuan mereka berdasarkan observasi langsung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengamatan indrawinya.
Pendidikan modern sekarang memperkuat pandangan Ibnu Khaldun tentang perlunya widyawisata sebagai sarana yang besar artinya dalam upaya mendapatkan pengetahuan secara langsung di lapangan dan pengaruhnya kuat sekali dalam hati anak. Sehingga beliau mengatakan;
“Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyak orang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang dianut serta keutaman-keutamaan mereka; kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah, dan kadang kala dengan cara meniru dan belajar melalui peergaulan dengan mereka. Sedangkn keberhasilan memdapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran akan leih mendalam dan lebih kuat kesannya daripada cara lain, apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam”[13]
Yang dimaksud dengan “perlawatan” (rihlah) menurut beliau ialah perjalanan untuk menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama dan ilmuwan terkenal.
Menuntut ilmu pada masa beliau berjalan melalui 2 cara:
Belajar mendapatkan ilmu dari kitab-kitab (buku-buku) yang dibacakan oleh guru-guru yang mengajar, lalu mereka mengistimbatkan (menyimpulkan) permasalahan ilmu pengetahuan tersebut kepada murid-muridnya, dan dengan jalan mengikuti para ulama terkenal yang mengarang kitab-kitab tersebut serta mendengarkan secara langsung pelajaran yang mereka berikan.
Ibnu Khaldun lebih menyukai cara yang kedua karena perlawatan dengan cara ini tidak lain adalah perjalanan yang bertujuan untuk mengobservasi pengetahuan secara langsung pada sumbernya, serta mendiskripsikan apa yang diamati secara langsung. Tujuan dari perlawatan ini ialah memperoleh pengalaman dan pengetahuan langsung dari sumbernya yang asli, meskipun caranya berlain-lainan, namun tak diragukan lagi bahwa sesungguhnya menerima pelajaran dari para ulama yang mempunyai keahlian khusus di rumah mereka memberikan kepada pelajar suatu pandangan dan observasi khusus. Kita dapat firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an yang berkaitan dengan widyawisata ini sebagai berikut:
“Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (Ar-rūm, 42)[14].

4.      Tidak Memberikan Presentasi yang Rumit Kepada Anak yang Baru Belajar Permulaan
Ibnu Khaldun mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan definisi-definisi, dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khsusnya pada permulaan belajar akan tetapi seharusnya guru memulai dengan memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas nas-nas serta mengistimbatkan (mengambil kesimpulan) yang khusus. Pemahaman anak terhadap pengertian kaidah dan norma-norma serta definisi-definisi berarti menghadapkan anak kepada kaidah-kaidah ilmu yang bersifat menyeluruh dan menghadapkan kepada anak permasalah (problema) ilmu secara sekaligus, hal ini jelas belum dapat dimengerti oleh anak karena usianya yang belum matang, dan juga karena hal itu akan menyebabkan akal pikirannya dibebani dengan kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirnya yang akan berakhir pada apa ang dinamakan “kelumpuhan akademis”. Hal demikian akan mengakibatkan anak lari dari ilmu dan membencinya.
Bukan ilmu yang salah, tetapi metodenya yang buruk, karena tidak memperhatikan kecenderungan anak dan kesiapan kemampuannya.
Pendapat beliau tentang metode di atas dan tujuan penggunaannya, adalah sejalan dengan psikologi modern saat ini, yang mengajak untuk memperhatikan pengalaman yang telah di peroleh anak sebelumnya, yang berkaitan dengan pengetahuan empiris, untuk dikembangkan ke arah pengalaman barunya.
Dari segi pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran yang ditetapkan berdasarkan atas prinsip-prinsip mengajar murid dengan kaidah-kaidah atau norma-norma pada permulaannya disertai dengan contoh-contoh yang sesuai, dianalogikan dengan contoh-contoh yang telah ia saksikan sendiri, maka metoda tersebut dinamakan metode analogi yang simultan seperti mengajarkan pengertian kalimat.
ضربزيدعمروا
“Zaed telah memukul ‘Amr”
Metode demikian tidak sesuai dengan pendapat Ibnu Khaldun, karena beliau berpendapat bahwa contoh-contoh lebih dahulu diberikan disertai dengan nas-nas kesaksian untuk diambil takrif (definisi) dan kaidah-kaidah secara umum, maka metode demikian ini sejalan dengan metode ilmiah.
Dalam hubungan ini, bahan pelajaran yang bersifat lughawi dan gaya-gaya bahasanya adalah merpakan bahan pengetahuan yang masih kasar tapi bagus dan khusus sifatnya, yang disajikan oleh guru sesuai dengan kemampuan murid. Kemudian didiskusikan dari segi sastranya agar dipahami dan dirasakan arti yang terkandung di dalamnya. Setelah itu mengalihkan pandangan murid kepada dasar-dasar gramatika yang terkandung dalam nas Al-Qur’an, atau ibarat-ibarat dan gaya-gaya bahasanya yang dapat diambil daripadanya.
Dengan menggunakan metode diskusi dan tanya jawab, maka dapat dilakukan istimbat untuk dirumuskan definisi dan kesimpulan daripada apa yang telah dibicarakan[15].

5.      Harus Ada Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu
Ibnu Khaldun mendorong agar guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengkaitkan dengan ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan ilmu satu sama lain menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian terdahulu tentang perlunya mengajar dengan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah atau terputus-putus, agar memudahkan orang tidak lupa. Sebenarnya masalah waktu itu sendiri yang memegang peranan apakah memperlancar atau menghambat kemampuan memperoleh ilmu.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun tidak setuju memisah-misah dan memotong-motong ilmu demi untuk memberikan waktu istirahat dan memperbaharui semangat belajar, akan tetapi beliau mengartikan bahwa akan menimbulkan kelupaan yang berkepanjangan terhadap ilmu yang telah dipelajari. Jika terjadi pemutusan hubungan antara ilmu-ilmu yang dipelajari dalam jangka waktu lama, akhirnya ia tidak dapat mengkaitkan lagi dengan berbagai ilmu yang telah dipelajari.
Sejalan dengan pandangan beliau adalah tentang pembahasan mengenai bahasa Arab pada masa sekarang, dianjurkan agar diajarkan kitab-kitab mutholaah yang menyajikan topik pembahasan satu macam dalam beberapa pertemuan yang berturut-turut dengan menggalakkan keinginan untuk menserasikan dan menganalisa isi kitab dengan mengkaitakn antara satu sama lain ke dalam jiwa anak.
Menurut Ibnu khaldun ilmu adalah penguasaan dan penguasaan ilmu itu tidaklah keadaannya tetap dan kuat kemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus menerus atau mengulang-ulanginya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktekkan maka penalaran akan terlupakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahan (lenyap)[16].

6.      Tidak Mencampurkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu
Ibnu Khaldun menganjurkan agar guru tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu kepada muridnya karen sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami problmatikanya yang lailn. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan. Jika ia telah menyelesaikan satu ilmu, maka ilmu itu menjadi sarana yang dapat menciptakan keberhasilan memecahkan dan memahami problema-problemanya.
Pandangan beliau tersebut menunjukkan bahwa takhassus (spesialisasi) ilmu itu penting; karena tak mungkin orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu dan memahami deetail-detailnya tanpa mentuntaskan studi ilmu itu. Begitu juga pendapat beliau, bahwa tak mungkin mengajarkan anak dengan problema-problema dari dua macam ilmu yang berbeda (dalam satu waktu berdasarkan alasan yang telah diuraikan di atas)[17].
Hendaknya Jangan Mengajarkan Al-Qur’an Kepada Anak Kecuali Setelah Sampai Pada Tingkat Kemampuan Berfikir Tertentu.
Ibnu Khaldun mencela keras kebiasaan yang berlaku pada zamannya, di mana pendidikan anak tidak didasrkan atas metode yang benar. Karena anak diwajibkan menghafal Al-Qur’an pada permulaan belajar berdasarkan alasan bahwa Al-Qur’an harus diajarkan kepada anak sejak dini agar ia dapat menulis dan berbicara dengan bahasa yang benar, dan al Qur’an depandang mempunyai kelebihan yang dapat menjaga anak dari perbuatan yang rendah.
Itulah kepercayaan para pendidik masa itu mereka menerapkan cara-cara mengajarkan Al-Qur’an dengan mewajibkan anak untuk menghapalnya tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut.
Mereka berasumsi bahwa pada waktu bersamaan menghapalkan Al-Qur’an dengan mewajibkan anak untuk menghapalnya tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka berasumsi bahwa pada waktu bersamaan menghapalkan Al-Qur’an pada masa kanak-kanak secara dini akan mengembangkan kemampuan belajar bahasa mereka.
Dalam hal ini beliau mengatakan yang bernada membantah pendapat para pendidik masa itu dengan argumentasinya sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan yang tidak ada pengaruhnya terhadap bahasa, sebelum anak memahami artinya, dan merasakan gaya-gaya bahasanya; Juga Al-Qur’an tidak punya pengaruh lughawi dan maknawi kecuali setelah anak mencapai tingkat tertentu dari kematangan berfikir (yang memungkinkan ia memahami maknanya).”
Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menganjurkan untuk mengakhirkan (menunda) menghafal Al-Qur’an sampai umur yang layak, sedangkan pendidikan akhlak beliau tidak menganjurkan untuk mengakhirkannya dari sinilah nampak jelas bagi kita perbedaan pendapat antara Ibnu Khaldun dengan pendapat Reausseau, (seorang pendidik Perancis terkenal dan ahli sosiologi dan filsuf)[18].

7.      Menghindari dari Mengajarkan Ilmu dengan Ikhtisarnya
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa di antara faktor yang berakibat buruk dari metode pengajaran adalah mengikhtisarkan (meringkas) isi buku teks; kebanyakan para ulama mutaakhirin senang menggunakan metode ini, maka berkembanglah pada masa itu buku (kitab-kitab) yang berisi ikhtisar dan matan-matannya saja.
Di antara ulama yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun ialah Ibnu al-Haji yang meringkaskan fiqih dan usul fiqih sedangkan Ibnu Malik yang mengikhtisarkan ilmu nahwu yang merusak pengajaran dalam mempelajari ilmu dengan membuang-buang waktu bagi murid karena harus mengikuti ringkasan kata-kata yang sulit dimengerti, dan sukar untuk diambil permasalahan dari dalamnya. Hal ini menghambat jalan keberhasilan dari proses mengajar.
Mengapa umat mutaakhkhirin (Kontemporer) mau menerima kitab-kitab yang berisi ikhtisar itu; karena dengan kitab mukhtashar tersebut memudahkan murid-murid mereka untuk menghapalkannya, akan tetapi mereka dengan cara ini membebani murid-muridnya dengan banyak kesulitan, yang mana menghalangi usaha meningkatkan kemampuan-kemampuan kreativitas mereka.
Jika para tokoh pendidik sekarang menentang ikhtisar ilmu yang ditulis dalam buku-buku dan melarang untuk dipakai di sekolah-sekolah, maka tantangan demikian itu bukanlah baru, karena jauh sebelumnya Ibnu Khaldun pernah menentangnya; sebab buku-buku ikhtisar yang menerangkan ilmu pengetahuan dengan segala seginya, menurut beliau, dapat melemahkan akal pikiran, dan mengacaukan sistem berpikir serta membuang-buang waktu belajar murid. Pendidikan modern bersikap menentang (sebagaimana sikap Ibnu Khaldun) terhadap pola dan metode pendidikan dengan sistem ikhtisar (ringkasan)[19].

8.      Sangsi Terhadap Murid Merupakan Salah Satu Motivasi Dorongan Semangat Belajar (Bagi Murid yang Tidak Disiplin)
Ibnu Khaldun menganjurkan agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan jasmani anak (atau murid).
Jika anak diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor, dan saat itu anak tidak dapat menyatakan apa yang tergetar dalam hati kecilnya, akhirnya rusaklah makna kemanusiaan dalam dirinya sejak masa kanak-kanak.
Dalam hubungan dengan pendapat beliau tentang metode hukum itu, beliau menyatakan: “Lihatlah kepada bangsa Yahudi bagaimana mereka berakhlak buruk, sehingga mereka diberi sifat yang dikenal di sembarang ufuk (arah) dan zaman dengan watak “sempit dada” yang artinya menurut istilah yang terkenal ialah berbuat busuk dan tipu daya.”
Ibnu Khaldun menunjukkan bukti-bukti menurut pandangannya yang teliti dan pemikirannya yang dalam. Bukti-bukti yang diambil dari kejadian yang terjadi di antara kita dan bangsa Yahudi tentang perbuatan yang banyak dikenal orang banyak, adalah benar-benar memperkuat watak orang yahudi terutama yang berpolitik zionisme; Mereka berwatak keji, berkhianat, dan bertipu daya.
Sifat-sifat demikian melahirkan sikap dan perbuatan kekerasan, kerendahan dan kekejaman[20].

E.        PENDIDIK
Pendidik dalam pandangan Ibnu Khaldun haruslah orang yang berpengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian yang baik. Karena pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya. Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli. Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Khaldun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah[21].

F.         PESERTA DIDIK
Sedangkan konsepnya mengenai peserta didik, bahwa peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah yang lebih baik dengan potensi dan fitrah yang telah ada. Peserta didik ibarat wadah yang siap untuk di beri pengetahuan yang baru.
Kesiapan dari kematangan murid tersebut berkembang setingkat demi setingkat, bertentangan dengan problema ilmu yang dihadapkan kepadanya. Dan proses pengalihan ilmu untuk mendekati, dengan cara menganalisa problema tersebut, sehingga kemampuan untuk menyiapkan diri mereka ilmu itu benar-benar sempurna, kemudian baru mendapatkan hasilnya”[22].



Daftar pustaka :
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Terjemah Mastur Irham dkk, Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2011 M, Pengantar Penerbit Hlm. xii-xiii.
http://muhsoni-dzaki.blogspot.com/, di akses pada pukul 08.53, Hari Sabtu, 28 Desember 2012 M
Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196.




[1] Zainuddin (eds),Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer.(Malang:UIN MALANG Press,2009),hlm.166.
[2] Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-Hadhari al-Islami, diterjemahkan oleh Muhammad Yasar, dan Muhammad Hikam dengan judul, Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2005)
[3] Said Ismail Ali, A’lam Tarbiyah fi al-Hadharah al- Islamiyah, Diterj. Muhammad Zaenal Arifin. Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010)
[4] Mappaanro, Rasyid Ridho dan Pemikirannya tentang Pendidikan Formal. (Makassar: Alauddin Press, 2008)
[5]Ibd
[6] Ali-al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tunisiy. Dirasatun Muqaranah fi al-Tarbiyah al-Islamiya. Diterjemahkan oleh H.M. Arifin. Perbandingan Pendidikan Islam. Cet. II (Jakarta:Rieneka Cipta,2002)
[7] Abbudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Cet. II: (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001)
[8] Mappanganro, Op.cit
[9]Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Terjemah Mastur Irham dkk, Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2011 M, Pengantar Penerbit Hlm. xii-xiii
[10]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196
[11]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 199-200
[12]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 201
[13]Ibid,. Hlm. 201-202
[14]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 203-204.
[15]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 203-204.
[16]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M. 203-204
[17]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 205-206.
[18]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 206-207
[19]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 208
[20]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 209-210
[21]http://muhsoni-dzaki.blogspot.com/, di akses pada pukul 08.53, Hari Sabtu, 28 Desember 2012 M
[22]Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar