BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diantara persoalan penting yang di
hadapi oleh pendidikan Islam selama ini adalah adanya kenyataan menunjukan
kiblat pendidikan Islam yang belum jelas. Pendidikan Islam masih belum
menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini
selain karena banyaknya konsep pendidikan yang ditawarkan para ahli yang belum
jelas keislamannya, juga karena belum
banyak pakar pendidikan Islam yang merancang masalah pendidikan Islam secara
seksama. Hal ini bisa terjadi karena belum banyak diperkenalkan pemikiran
kependidikan yang dikemukakan para filosof muslim, seperti al-Ghozali, Ibn
Sina, Muhammad Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Padahal para ilmuan muslim
telah banyak menyumbangkan gagasan-gagasan brilian bagi pendidikan Islam.
Karena itu kita tidak boleh melupakan atau bahkan menafikan mereka agar
pendidikan Islam menemukan kembali jati dirinya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pemikiran pendidikan dari Ibn Sina?
2.
Bagaimana
pemikiran pendidikan dari al-Ghazali?
3.
Bagaimana
pemikiran pendidikan dari Muhammad Rasyid Ridha?
4.
Bagaimana pemikiran pendidikan menurut Ibnu Kholdun?
C. Tujuan
1.
Dapat
mengetahui pemikiran pendidikan Ibn Sina.
2.
Dapat
mengetahui pemikiran pendidikan al-Ghozali.
3.
Dapat
mengetahui pemikiran pendidikan Muhammad Rasyid Ridha.
4.
Dapat
mengetahui bagaimana pemikiran
pendidikan oleh Ibnu Kholdun.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
IBNU SINA
A.
Sosok Sang Ilmuwan Ibnu Sina
Ibnu Sina
bernama lengkap Abu ‘Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina.Ia
lahir pada tahun 370 H/980 m di Afshana ( Kharmisin ). Secara tradisional
dipengaruhi oleh cabang Islam Ismi’iliyah, pemikiran Ibnu Sina independen
dengan tingkat kecerdasan dan ingatan yang luar biasa. Banyak orang yang
mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya (
child prodigy ). Sejarah mencatat, bahwa ia memulai pendidikan nya pad usia 5
tahun di kota kelahiran nya bernama Bukhara. Pengetahuan yang ia pelajari ialah
al-Qur’an, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam.
Berkat ketekunan dan kecerdasan nya, pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur’an
dan ‘alim dalam berbagai ilmu keislaman yang berkembang saat itu, seperti
tafsir, fiqih, kalam, filsafat, logika dan pengobatan.
B.
Hakikat Manusia Menurut Ibnu Sina
Pembahasan
tentang Ibnu Sina tidak pernah terlepas dari pemikiran nya tentang manusia,
khususnya tentang jiwa. Meskipun ia
sebagai seorang seorang. Secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani
dan rohani.
Menurut Ibnu
Sina, untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlikan
latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat
jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia. Ia juga
menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa
itu yang berpengaruh pada dirinya. Jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang
maka orang orang orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya
jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum berpisah dengan
badan,maka ia memperoleh kesenangan dunia akhirat.
C.
BEBERAPA GAGASAN IBNU SINA TENTANG PENDIDIKAN
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Sina adalah “pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya
yang sempurna yaitu perkembangan fisik,intelektual dan budi pekerti”. Selain
itu tujuan pendidikan menurut Ibbnu Sina harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama
dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan
Ibnu Sna bersifat hirarkis-struktural. Artinya disampping memiliki pendapat
tentang tujuan pendidikan yang bersifat universal (tujuan akhir) juga memiliki
pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat kurikuler atau tiap bidang
study dan tujuan yang bersifat operasional.
2.
Kurikulum
Kurikulum
menurut ibnu Sina dirumuskan dengan berdasarkan pada tingkat perkembangan usia
anak didik yaitu,
Pertama, usia 3
sampai 5 tahun. Pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olahraga
budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Kedua, usia 6
sampai 14 tahun. Kurikulum untuk usia 6-14 tahun menurut Ibnu Sina adalah
mencangkup pelajaran membaca dan menghafal al- qur’an, pelajaran agama,
pelajaran syair, dan pelajaran olahraga. Jika pada usia 3 – 5 tahun lebih
ditekan kan pada aspek aspektif atau pendidikan ahklak maka usia 6-14 tahun
telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif.
Ke tiga, usia
14 tahun ke atas. Pada usia 14 tahun keatas Ibnu Sina memandang pelajaran yang
harus diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelum nya. Mata pelajaran
yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas sangat banyak jumlahnya namung
pelajaran tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, jadi pada usia ini anak
didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu,
3.
Metode Pembelajaran
Metode
pembelajaran menurut Abuddinnata diantara metode yang ditawarkan Ibnu Sina
adalah metode Talkim, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan
penugasan.
Dari metode
tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap
pendidikan, yaitu (1) pemilihan dan pnerpan metode harus disesuaikan dengan
karakteristik materi pelajaran;992) metode juga diterapkan dengan
mempertimbangkan psikologis anak didik ,termasuk bakat dan minat anak;(3)
metode yang ditawarkan tidaklah kaku,akan tetapi dapat berubah sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan anak didik;(4) ketepatan dalam memilih dan menerapkan
metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran .
4.
Konsep Guru
Ibnu Sina
menginginkan seorang guru memiliki kompetensi keilmuan yang
bagus,berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola
bagi anak-anak didiknya. Hal ini penting,sebab jika guru tidak memiliki wawasan
yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki
kharismatik,akan sulit didapat,meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas
berkurang.
D.
AKTUALISASI PEMIKIRAN IBNU SINA DI ZAMAN SEKARANG
Dari beberapa
pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan islam berikut beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dari pemikiran Ibnu Sina adalah sebagai berikut.
Pertama ;
penting nya anak usia dini. Hal ini penting karena pada masa ini akan
menentukan karakter dan tingkat perkembangan pendidikan anak pada masa yang
akan datang.
Ke dua ;
pentingnya pendidikan ahklak, dalam hal ini perlu ada perubahan paradigma bahwa
persoalan ahklak bukan hanya tugas guru agama saja, akan tetapi juga menjagi
tugas semua guru.
Ke tiga ;
pendidikan al-Quran sebagai model dalam upaya ini, diharapkan anak didik akan
merasa semakin dekat dengan al-Quran serta akan lahir generasi penerus Ibnu
Sina sebagai ulama yang ilmuwan atau ilmuwan yang ulama,
Ke empat ;
pendidikan yang berorientasi kepada jiwa ( an-naff ). Pendidikan yang
berorientasi pada jiwadapat mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk
kepribadian yang berahklak mulia.
Ke lima ; perlu
membangun paradigma pendidikan non-dikotomik atau pendidikan integralistik.
Dalam konteks pendidikan di indonesia paradigma semacam ini harus terbangun.
Adanya istilah pendidikan umum dan pendidikan agama seringkali menimbulkan
paragigma hisotonok yang mempertentangkan anatara satu ilmu dengan yang lain.
Paradigma semacam ini menimbulkan eberapa persoalan,seperti: ilmu yang dimiliki
tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah ,sikap beragama hanya
urusan privasi seseorang,pembinaan akhlak,tugas guru agama yang banyak
berbicara tentang nilai,kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih
menguat dan sebagainya. Oleh karena itu ,pemikiran Ibnu Sina ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan
sumber daya manusia indonesia yang berkualitas: beriman,bertaqwa,dan berakhlak
mulia serta cerdas dalam menyelesaikan persolan sehingga menemukan jkebahagiaan
hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
2.
IMAM AL GHAZALI
A.
Sosok Pribadi Imam Al Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali dilahirakan di Thus ,sebuah
kota di Khurasan,Persia pada tahun 450H
1058 M. Imam Al Ghazali dikenal sebagai sosok pecinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung pencari kebenaran yang hakiki. Pada masa kanak-kanak beliau
belajar kepada Ahwad bin Muhammad ar-Radzikani di Thus kemudian belajar pada
Abi an Nash al Ismaili di Jurjanni dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.
Sesudah itu ia kembali ia pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli
agama yang ternama yaitu Al Juwaini ,Imam Al Haramain. Adri beliau ini dia
belajar ilmu kalam ,ilmu ushul dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara
karya-karya kitab beliau adalah Al
Basith,Khulasahah Ilmu Fiqih,Al- Munqil Fi Ilm Al Jadal,Makhhad L-Khalaf,Lubab
An-Nadzar,Tasin Al-Maakhidz,Dan Mabadi Wa Al Ghayat Fi Fann Al Khalaf.
B.
KONSEP PENDIDIKAN AL –GHAZALI
Pengertian
pendidikan menurut Imam Al Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan
menanamkan akhlak yang baik[1].
Dari pernyataan diatas ,al Ghazali menitik beratkan perilaku manusia yang sesuai dengan agama Islam sehingga dalm
melakukan suatu proses diperlukan suatu proses yang indoktrinatif atau sesuatu
yang dijadikan mata pelajaran. Secara sistematik bangunan keilmuan/kependidikan
Ghazali bisa dijelaskan sebagai berikut:
(1)
Ilmu yang disyariatkan adalah ilmu yang disandarkan kepada Nabi
SAW. (2) ilmu yang tidak disyariatkan adalah ilmu yang tidak disyariatkan
kepada Nabi SAW dan diperoleh melalui
penalaran akal,pengalaman,pendengaran dan sebagainya. (3). Ilmu yang terpuji (al ilm al mahmud) adalah
ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia,seperti dokter,berhitung,dan
sebagainya.(4). llmu yang wajib sebagian (fardlu kifayah) adalah ilmu yang
berkaitan dengan urusan keduniaan yang cukup dipelajari oleh sebagian secara
spesialis-profesional.(5)ilmu yang diutamakan(ilmu fadilah) adalh ilmu yang
lebih diutamakan dari pada ilmu wajib kifayah. (6)ilmu yang tercela(al ilm ala
madzmum) adalah ilm yan tidak dikehendaki oleh syariat sepeti ilmu sihir,jimat
dan lain sebagainya.(7) imu yang mubah atau diperbolehkan seperti halnya ilmu
sastra,ilmu sejarah dan sebagainya. Semua ilmu yang digariskan harus
dijewantahkan melalui pendidikan sejak dini. Karena sejak kecil anak telah
memiliki insting kejiwaan-keilmuan yang harus dibangun melalui pendidikan.
Menurut
Imam Ghazal tujuan akhir dari pendidikan ada 2,yaitu ,pertama,tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah,kedua,kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan ini tampak
bernuansa religius dan moral dan tanpa mengabaikan masaah duniawi. Hal ini
sejalan dengan pemikiran al Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran
pendidikan menurut Imam Al Ghazal adalh kesempurnaan insani dunia dan akhirat.
Dalam
kitabnya ihya ulumuddin al Ghazali
menyatakan sebagai berikut : “Dunia
adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia alat yang
menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu,orang yang menjadikan
dunia hanya sebagai alat dan tempat pesinggahan,bukan bagi orang yang
menjadikannya sebagai tinggal yang kekal dan negeri yang abadi.” Dengan
demikian maka jelas bahwa tujuan pendidikan menurut Imam Ghazal adalah
kesempurnaan manusia di dunia dan di akhirat. Meski demikian beliau tidak
mengabaikan pentingnya menuntut ilmu yangbersifat fardlu kifayah sesuai dengan
tuntutan zaman. Menurut pandangan al
Ghazali ,ilmu adalah amal utama yang paling utama baik yang bersifat fardlu
‘ain maupun fardlu kifayah. Dengan kata lain tujuan pendidikan menurut Imam
Ghazali harus mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak,dengan titik
penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk
mencari kedududkan yang tingi atau mendapatkan kemegahan dunia.
C.
METODE PENGAJARAN
Imam al Ghazali
lebih mengkhususkan pengajaran agama bagi anak-anak dalam metode pengajaranya.
Untuk ini ia telah mengajarkan suatu metode keteladanan bagi mental
anak-anak,penanaman budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri
mereka . selanjutnya sebagaimana yang dikatakan oleh Abidin (1998:97) bahwa “metode pengajaran
menurut Al Ghazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama dan
pendidikan akhlak”. Metode pendidikan agama menurut al Ghazali ,pada prinsipnya
dimulai dengan hafalan dan pemahaman,kemudian
dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran,setelah itu penegakan dalil-dalil
dan keterangan-keterangan yang menguatkan akidah. Sekanjutnya Sulaiman
(1993:61) “al ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan
pada anak-anak sedini mungkin. Sebab yang demikian lantaran dalam tahun-tahun
tersebut,seorang anak ,mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama
semata-mata dengan mengimankan saja dan tidak dituntut untu mrncari dalilnya.
Sementara itu berkaitan dengan pendidikan aklak,bahwa pengajaran harus mengarah
kepada pembentukan akhlak yang mulia. Sehingga Al-Ghazal berpendapat bahwa
“akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di alam jiwa yang darinya lahir
berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikian dan pertimbangan”.
Selanjutnya menurut Zaenuddin (1990:75),prinsip metodologi pendidikan modern
selalu menunjukkan aspek berganda. Suatu aspek menunjukkan proses anak belajar
dan aspek lainnya menunjukkan aspek guru mengajar dan mendidik.
Asas-asas
metode belajar
1.
Memusatkan pehatian sepenuhnya
2.
Mengetahui tujuan ilmu pengetahan yang akan dipelajari
3.
Memepelajari ilmu pngetahuan dari yang sederhana menuju yang
komplek
4.
Mempelajar ilmu pengetahuan dengan sistematika pembahasan
Asas-asas metode mengajar :
1.
Memeperhatikan tingkat daya pikir anak
2.
Meneangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya
3.
Mengajrkan ilmu pengetahuan dari yang kongkrit menuju yang abstrak
4.
Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur
Asas metode mendidik
1.
Memberikan latihan-latihan
2.
Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat
3.
Melindungi anak dari pergaulan yang buruk
A. RIWAYAT SINGKAT RASYID
RIDHO
Dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam tahun 1282-1354H/1865-1935M. Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil
Tsani tahun 1282H/18 Oktober tahun 1865M.[2]
Diantara karangan-karanganya Rasyid Ridha adalah Tafsir al-Manar, Syubuhat
An-Nashara dan Hujaj Al-Islami, Al-Wahyu Al-Muhammadi, Nida li Al-Finsi
Al-Lathief dan Yusru Al-Islam wa Ushulu At-Tasyri’ Al-Am. Meninggal pada tahun
1935 karena kecelakaan mobil. Terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan pulang
dari kota Suez menuju kota Kairo.
B. PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RASYID
RIDHO
Rasyid Ridho dikenal
sebagai seorang tokoh pembaharu abad XIX yang produktif memberikan gagasan
pemikiran dalam dunia Islam.
Di bidang pendidikan,
Rasyid Ridho berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang
pendidikan sebagai instrumen dan wahana pengembangan diri yang berkualitas.
Oleh karenanya, dia banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk
menggunakan kekayaanya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam
bidang ini, Rasyid Ridho pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum
dengan muatan ilmu agama dan umum. Selain itu, mengingat pentingnya posisi
pendidikan terhadap umat Islam, Rasyid Ridho juga sangat memperhatikan
pendidikan perempuan.
Secara umum, Rasyid
Ridho memandang bahwa pendidikan bagi setiap muslim mutlak adanya. Menurutnya,
jika manusia diciptakan sebagai penopang kebahagiaan dan poros bagi kebaikan
semua persoalan agama dan dunianya, maka setiap individu dari umat Islam harus
berupaya sekuat tenaga mengerahkan kekuatan akal dan materinya untuk
mendapatkan keutamaan melalui pendidikan.[3]
Melalui pendidikan,
menurut Rasyid Ridho dimungkinkan terwujud ikatan sosial dan keadilan sosial, terungkap
berbagai pengetahuan dan kreasi-kreasi baru yang mengandung manfaat, dan
terkuak berbagai kemampuan dan kesiapan individu-individu guna merealisasikan
kemajuan, kesatuan, dan persatuan. Sealin itu, melalui pendidikan pula
dimungkinkan memahami agama sebagaimana ulama salaf memahaminya serta
meninggalkan kejumudan dan keyakinan-keyakinan menyimpang, sehingga kemuliaan
Islam bisa kembali lagi dan kembali menghampiri para pemeliknya.
Jika dianalisis
pandangan-pandangan pendidikan Rasyid Ridho di atas, maka kesimpulan logis dari
pandangan ini memberikan kesimpilan bahwa pendidikan itu harus menjadi suatu yg
wajib diadakan disetiap tempat, diberikan kepada setiap individu umat, dengan
asumsi bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan spirit yang menjadi nafas
bangsa dan umat.
Rasyid Ridho
mendasarkan pandangan tentang pentingnya pendidikan dan pemudahan jalan bagi
itu pada dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Sunnah. Rasyid Ridho memberikan
argumentasi, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an maupun al-Sunnah banyak berbicara persoalan
keimanan, pengetahuan, amal shaleh, ibadah dan muamalah baik kepada kaum
laki-laki maupun kepada kaum peremuan. Yang pasti, menurutnya, Allah SWT telah
memperuntukan bagi perempuan segala sesuatu seperti yang diperuntukan bagi kaum
laki-laki, kecuali sedikit ada perbedaan lantaran perbedaan tabi’at (seperti hamil dan menyusui) dan
tugas wanita dipandang dari segi hukum.[4]
Atas dasar pandangan
inilah, Rasyid Ridho mengakui adanya hak-hak perempuan untuk mengikuti
pendidikan. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan kaum perempuan
sangat diperhatikan oleh Rasyid Ridho. Ia mengatakan bahwa, terdapat ajakan
untuk memberi pendidikan pada perempuan dengan pendidikan yang bebas, sama
dengan pria dalam berbagai hal, sehingga mereka tidak ada perbedaan satu sama
lain.[5]
Disimpulkan pada
prinsipnya Rasyid Ridha tidak mempermasalahkan pemberian kesempatan yang sama
kepada kaum perempuan untuk berkompetisi dalam memperoleh ilmu pengetahuan di
semua lembaga pendidikan, baik di tingkat formal maupun non formal. Hanya saja,
Rsyid Ridho memiliki pandangan lain yang berkisar pada pelaksanaan pendidikan
di mana di dalamnya terjadi pencampuran atau penggabungan antara laki-laki dan
perempuan dalam satu ruangan yang dikenal dengan istilah koedukasi.
Percampuran belajar
antara peserta didik laki-laki dan perempuan dalam satu tempat yang dikenal
dengan coeducational class menurut
pandangan Rasyid Ridho adalah suatu hal yang tidak baik. Rasyid Ridho tidak
setuju bila murid laki-laki dicampur dengan murid perempuan dalam al-kuttab,sehingga peserta didik
tersebut harus belajar sampai usia
baligh (dewasa).[6]
Menurutnya, guru yang paling tidak disukai adalah guru yang mengajar anak-anak
perempuan remaja, kemudian mereka dicampur dengan anak-anak laki-laki remaja.
Hal demikian akan menimbulkan kerusakan terutama bagi anak perempuan remaja.
Salah satu alasan
mengapa Rasyid Ridho berpegang teguh pada pendapatnya itu adalah karena ia
khawatir kalau anak-anak itu sendiri menjadi rusak moralnya. Hal demikian dalam
pandanganya dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat
pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari
penyimpangan-penyimpangan akhlak. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan
anak kecil dengan remaja yang telah dewasa kecuali bila anak remaja yang telah
balig tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa). Selain itu, sikap Rasyid
Ridho yang tidak sependapat dengan pencampuran laki-laki dan perempuan dalam
satu tempat belajar, antara lain didasarkan pada pandangannya bahwa dorongan
syahwat biologis (seksual) termasuk dorongan yang paling kuat, dan jika
berdekatan dengan wanita dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran seksual yang
dapat merendahkan martabatnya dan menjauhkan dari keimanan dan ketakwaan yang
ada dalam dirinya. Dengan demikian, sikap Rasyid Ridho dalam konteks ini tampak
lebih didasarkan pada sikap yang amat hati-hati dalam menjaga moral agama. Di
sini terlihat dengan jelas betapa prinsipnya yang demikian kuat berpegang
kepada agama dan taat beribadah kepada Allah SWT. Rasyid Ridho menegaskan,
bahwa yang perlu diperhatikan secara serius dalam masyarakat Islam adalah
menegakan kewajiban memisah antara jenis laki-laki dan perempuan, mengajak
kepada mereka utikan secara serius dalam masyarakat Islam adalah menegakan
kewajiban memisah antara jenis laki-laki dan perempuan, mengajak kepada mereka
untuk menghindari dari kedekatan untuk menghindari dari kedekatan untuk berbuat
zina.
Pendapat Rasyid Ridho,
tampak kuno dan tidak diterima masyarakat modern yang menuntut kesamaan derajat
dan kemitraan sejajar. Dalam hubungan ini Rasyid Ridho menilai, sungguhpun
pendapatnaya terkesan kuno, namun pendapat itulah ydan kemitraan sejajar. Dalam
hubungan ini Rasyid Ridho menilai, sungguhpun pendapatnaya terkesan kuno, namun
pendapat itulah yang sesuai dengan ajaran agama Islam, karena anak yang berusia
muharriqah (masa pubertas/remaja)
tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan kuat untuk mempertahankan
dan menjaga kehormatan (jenis kelaminnya) hingga sampai mencapai umur dewasa.
Konsistensi sikap dan pandangan Rasyid Ridho terkait koedukasi ini, tidak
terlepas dengan kompetensinya pada bidang fiqih yang berdasarkan pada Al-qur’an
dan as-Sunnah. Rasyid Ridho menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuh kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.
Alasan penolakan Rasyid
Ridho terhadap sistem koedukasi, karena ia memandang dari segi positif dan
negatifnya percampuran tersebut. Menurutnya, percampuran antara laki-laki dan
perempuan dalam satu ruangan belajar sangat banyak sisi negatifnya, dan tidak
memandang adanya segi positif atau manfaat dari sistem koedukasi tersebut. Bahkan
ia melihat bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat
mendatangkan malapetaka.[7]
Menurut Rasyid Ridha,
tradisi sistem edukasi merupakan adopsi dari orang-orang Eropa, bukan dari
pengetahuan sempurna dan kebebasan berfikir, bukan pandangan yang halus dan
lembut dan bukan pula dari hasil pertimbangan yang mendapatkan manfaat. Dengan
demikian, Rasyid Ridho menolak adanya koedukasi itu dari segi negatifnya, dan
tidak memandang adanya segi positif atau manfaat dari sistem koedukasi dalam pendidikan
Islam.
Alasan-alasan penolakan
Rasyid Ridho terhadap sistem koedukasi, paling tidak didasaria atas
pertimbangan beberapa keburukan. Di antara keburukan koedukasi tersebut menurut
Rasyid Ridho adalah sebagai berikut:
Pertama, dengan sistem
koedukasi, antara laki-laki dan perempuan berkumpul di sekolah, maka kedua
jenis itu akan potensial mengalami kesibukan hati, saling curi pandang, saling
berbicara. Kesemuanya itu dapat mempengaruhi daya nalar terhadap ilmu.
Selanjutnya Rsyid Ridho mengemukakan, bahwa dengan saling berdekatan akan
mengobarkan perasaan dan hubungan pergaulan yang akan membangkitkan kehangatan,
sehingga dapat memicu timbulnya perasaan dengan kecenderungan untuk menaruh
perhatian terhadap lain jenis (baik laki-laki maupun perempuan).
Kedua, dengan saling
berdekatan akan mengundang kepada saling mempertukarkan rhasia dan perasaan
serta memperpanjang hubungan sehingga dapat mengundang bergolaknya syahwat
seksual. Hal tersebut dapat menjadi penghalang menuntut ilmu, oleh karena boleh
jadi membawa daya percepatan untuk menikah, bahkan dapat melakukan perbuatan
zina.
Ketiga, dengan percampuran
laki-laki dan perempuan di sekolah dalam berbagai tingkatan dan umur perupakan
permulann yang dapat mengantarkan pada percampuran dengan segala bentuknya,
seperti dansa, berenang, menadakan perjalanan bersama, saling berkawan dan
berpasang-pasangan yang dpat mengarahkan pada pelanggaran norma-norma agama
maupun masyarakat yang ada. Dan hubungan ini pun dapat berlanjut bukan saja di
sekolah, akan tetapi lebih jauh lagi di luar sekolah.
Keempat, bahwa pervampuran
antara laki-laki dan perempuan meruntuhkan berbagai hukum agama dan tatakrama.
Berdasarkan
alasan-alasan yang mendasar tidak diterimanya konsep koedukasi oleh Rasyid
Ridha, maka itu menjadi dasar pemikiran Rasyid Ridha agar wanita diberi
pendidikan khusus yang terpisah dari laki-laki. Ia juga menekankan bahwa
lingkungan utama bagi pendidikan perempuan adalah keluarga. Pendidikan kaum
perempuan di setiap lembaga pendidikan harus selaras dengan watak dasar yang
telah di-fitrahkan Allah SWT
kepadanya. Oleh sebab itu, pendidikan keagamaan harus menjadi patokan utama
dalam mendidik dan mengajar anak-anak perempuan, di samping sisi-sisi lain yang
juga diajarkan sehingga nantinya bisa mengurus keluarga dan rumah tangganya
dengan baik. Mereka harus diajarkan kecintaan kepada keluarga, keramah-tamahan,
kebersihan, kasih sayang, pemenuhan hak-hak suami, adil dalam membelanjakan
harta dan segala hal yang terkait dengan pengajaran urusan rumah tangga,
menjaga anak, ilmu hitung, sejarah, bahasa Arab, sastra, dan geografi.[8]
Berdasarkan pandangan
Rasyid Ridha terhadap sistem koedukasi dalam pendidikan di atas, sesungguhnya
ia berpandangan demikian tidak lebih sebagai bagian konsistensi Rasyid Ridho
untuk tetap menjaga norma dan nilai-nilai agama dalam proses penyelenggaraan
pendidikan, agar setiap generasi yang terdidik tetap terjaga dari kerusakan
iman dan akhlak yang ditimbulkan dari percampuran atau pembauran antar
laki-laki dan perempuan yang bebas dan kadang kurang terkontrol oleh sistem
pendidikan yang ada di setiap lemgaba pebdidikn.
Pandangan “ekstrim”
Rasyid Ridha terhadap penolakan sistem koedukasi dalam pendidikan, diasumsikan
ia lebih menekankan pada tujuan atau hasil dari pendidikan campuran ini. Dengan
demikian, diharapkan pendidikan menurut Rasyid Ridha mampu menghasilkan
tokoh-tokoh pendidikan dari perempuan muslim, yang justru berupaya lebih
memikirkan masa depan wanita.
Menanggapi pandangan
Rasyid Ridha , tentunya mengugah dunia pendidikan untuk lebih berhati-hati
terhadap penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam, yang mesti dipahami
secara arif, bijaksana dan kondisional dalam meraih tujuan pendidikan yang
ideal pada setiap ruang dan waktu. Utamanya bagi pengelola lembaga pendidikan
untuk tetap konsisten menjaga norma-norma Islami dalam penyelenggaraan
pendidikan, sehingga dapat eksisi melahirkan generasi yang teguh aqidahnya, dan
luas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta terampil dalam mengolah
hidupnya.
PENUTUP
Kedudukan antara
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif Rasyid
Ridha adalah sama dan setara. Ia memandang bahwa pemberian hak kaum perempuan
untuk memperoleh pendidikan harus dilihat sebagai hak dasar perempuan yang
tidak boleh dihalang-halangi. Pendidikan di sini harus dilihat sebagai proses
pemberdayaan, pembebasan, pencerdasan, pembudayaan, dan proses pemanusiaan
secara berkeadialn dan proporsional. Adapu perspektif Rasyid Ridho yang secara
tegas menolak sistem koedukasi dalam pendidikan bukan berarti diskriminasi gender, akan tetapi ia melihatnya dari
perspektif dan pertimbangan moral dalam pergaulan pendidikan.
A. RIWAYAT SINGKAT IBNU
KHOLDUN
Berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup
unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri
ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya
adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad
bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. lahir di
Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.
Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan
keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan
dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi
Ketua Pengadilan di Mesir.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan bermula dari presentasi
ensiklopedia ilmu pengetahuannya. Hal ini merupakan jalan untuk membuka teori
tentang pengetahuan dan presentasi umum mengenai sejarah sosial dan epitomologi
berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.Menurut Ibnu Khaldun, ilmu
pengetahuan mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yakni;
pengetahuan rasional dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan rasional adalah
pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari pemikiran yang
alami. Sedangkan pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya,
metodenya, dan hasilnya, serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan
atau seseorang yang berkuasa.
B. KONSEP DAN TUJUAN
PENDIDIKAN
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan
nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan
eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
masyarakat tersebut bisa tetap eksis.Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal
pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan
Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat
rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar
baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan. Menurutnya paling tidak ada
tiga tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu peningkatan
kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia,
peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu
menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena social yang ada disekitarnya.
C. KURIKULUM DAN MATERI
PENDIDIKAN
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada
maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam
bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional
yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan
pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di
dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin
dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran
serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk
mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai
kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku
pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara
Islam bagian Barat dan Timur. Kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada
peserta didik dalam pemikiran Ibnu Khaldun meliputi tiga hal, yaitu: pertama,
kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan
syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami
Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga kurikulum
primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan
sebagainya).Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi
adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini
Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari
manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.
Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah
adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal
hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena
informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari
al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu
antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh,
ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini
bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk
berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada
sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun
ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
·
Ilmu logika
·
Ilmu fisika
·
Ilmu metafisika
·
Ilmu matematika
Walaupun Ibnu
Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun
ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.Ibnu
Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat
macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
a.
Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan
ilmu kalam.
b.
Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu
Ketuhanan (metafisika)
c.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang
terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu
mempelajari agama.
d.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.[9]
D. METODE PENGAJARAN
DAN PENDIDIKAN
Ibnu khaldun menetapkan bahwa metode mengajar, sebaiknya, harus
diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya
(Guidance ancausile), karena dipandang pengajaran tidak akan sempurna kecuali
harus dengan metode itu. Maka seolah-olah metode dan materi merupakan satu
kesatuan, padahal ia bukanlah bagian dari materi pelajaran, yang bukti-buktinya
ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa dikalangan tokoh pendidikan terdapat
metode-metode yang berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang
berkemampuan mengajar berpendapat bahwa kedayagunaan metode yang dapat
digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid bergantung pada sejauh
mana kematangan persiapan guru dalam mempelajari hidup kejiwaan anak-anak didiknya.
Sehingga diketahui sejauh mana kematangan kesiapan mereka dan bakat-bakat
ilmiahnya.
Maka jelaslah bahwa pendapat di atas sampai batas-batas tertentu
sesuai dengan pandangan ilmu pendidikan modern[10].
Berikut ini metode-metode pengajaran dan pendidikan yang ditawarkan
Ibnu Khaldun
1.
Metode Pentahapan dan Pengulangan (Tadarruj Wat Tikrāri)
Menurut Ibnu
Khaldun, mengajarkan anak-anak atau remaja hendaknya didasarkan atas
prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat
total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak
dapat menrima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang
diajarkan, lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan penjelasan
dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya anak-anak
tersebut serta kesiapan kemampuan menerima apa yang diajarkan.
Kemudian guru
mengulangi lagi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya
pemahamannya sampai kepada taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian
yang jelas, setelah itu beralih dari uraian yang global kepada uraian yang
hingga tercapai tujuan akhirnya yang terakhir, kemudian diulangi sekali lagi
pelajaran tersebut, sehingga tidak lagi terdapat kesulitan murid atau anak
untuk memahaminya dan tak ada lagi bagian-bagian yang diragukan.
Pengulangan
secara bertingkat ini, menurut pendapat beliau, sangat besar faedah dalam upaya
menjelaskan dan memntapkan ilmu ke dalam jiwa anak serta memperkuat kemampuan
jiwanya untuk memahami ilmu. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah kemahiran
anak dalam mengamalkannya, serta mengambil manfaatnya dalam kehidupan
sehari-hari. Alasan mengulang-ulang sampai beberapa kali (tiga kali) adalah
karena kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan atau seni berlangsung secara
bertahap.
Metode tersebut
benar-benar sejalan dengan teori-mengajar yang terbaru yang menyatakan bahwa
pentahapan pemahaman anak memerlukan pemahaman tentang perkembangan jiwa yang
berlangsung secara berbeda-beda bagi masing-masing anak. Dengan cara mengulang-ulangi
akan membawa anak kepada ketelitian yang menjadi salah satu faktor dari sistem
belajar praktis. Memang benar jika dikatakan bahwa mengulang-ulangi berbuat
sesuatu akan menimbulkan keseimbangan dan memudahkan pemantapan ingatan dan
menumbuhkan sistem berpikir yang teratur dalam jiwa anak.
Metode
pengulangan yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun tersebut adalah sesuai dengan
metode atau langkah-langkah belajar murid dalam pendidikan modern yang
merupakan persyaratan dalam proses penyusunan pengalaman murid yang terbentuk
secara berurutan. Hal ini berarti bahwa pengulangan pengalaman yang
berkali-kali berbeda ke dalam intensitasnya dalam kemajuan belajar anak.
Psikologi
modern memandang bahwa pengulangan itu merupakan salah satu metode belajar yang
baik, karena dapat memperbaiki pengetahuan pada tahap permulaannya yang sesuai
dan benar dengan teori – kemampuan menangkap perngertian menusia terhadap obyek
pengalaman (seperti telah diuraikan dalam teori Gestalt).
Teori pertama
menetapkan bahwa manusia mengamti benda-benda dengan secara keseluruhan pada
permulaannya, kemudan semakin nampak rinciannya. Teori demikian telah diungkap
oleh Ibnu Khaldun sebelum teori Gestalt, maka menjadilah totalitas pengetahuan
anak pada permulaan pengamatan, baru kemudian nampak rincian-rinciannya memang
berlangsung menurut tabiat akal-pikiran dalam proses pengamatan indrawi
terhadap benda-benda[11].
2.
Menggunakan Sarana Tertentu untuk Menjabarkan Pelajaran
Ibnu Khaldun
mendorong kepada penggunaan alat-alat peraga, karena anak pada waktu mulai
belajar permulaannya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatannya.
Alat-alat peraga itu membantu kemampuan memahami ilmu yang diajarkan kepadanya,
dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak bergantung pada
panca inderanya dalam proses penyusunan pengalamannya. Dalam pekerjaan mengajar
alat-alat peraga tersebut merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas,
yang berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau
diucapkan, di samping itu juga alat peraga ini menjadikan pengetahuan anak
bersentuhan dengan pegalaman indrawi yang hakiki.
Maka dari itu
makna yang terkandung di dalam metoda ini adalah lebih memudahkan anak memahami
pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan serta
memperkecil pemahaman yang buruk, dan sebagainya.
Jadi dengan
demikian Ibnu Khaldun mendahului zamannya dengan pendapat-pendapat beliau yang
terbukti sesuai dengan pandangan ilmu pendidikan modern[12].
3.
Widya-wisata merupakan Alat untuk Medapatkan Pengalaman yang
Langsung
Ibnu Khaldun
mendorong agar melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu karena dengan cara ini
murid-murid akan mudah mendapat sember-sumber pengetahuan yang banyak sesuai
dengan tabiat eksploratif anak, dean pengetahuan mereka berdasarkan observasi
langsung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap
pengetahuan lewat pengamatan indrawinya.
Pendidikan
modern sekarang memperkuat pandangan Ibnu Khaldun tentang perlunya widyawisata
sebagai sarana yang besar artinya dalam upaya mendapatkan pengetahuan secara
langsung di lapangan dan pengaruhnya kuat sekali dalam hati anak. Sehingga
beliau mengatakan;
“Sesungguhnya
melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu
pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan
ilmu mereka, sebab banyak orang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran
paham yang dianut serta keutaman-keutamaan mereka; kadangkala dengan cara
menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah, dan kadang kala dengan cara
meniru dan belajar melalui peergaulan dengan mereka. Sedangkn keberhasilan
memdapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran akan leih
mendalam dan lebih kuat kesannya daripada cara lain, apalagi melalui banyak guru
yang ilmunya bermacam-macam”[13]
Yang dimaksud
dengan “perlawatan” (rihlah) menurut beliau ialah perjalanan untuk menemui
guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama
dan ilmuwan terkenal.
Menuntut ilmu
pada masa beliau berjalan melalui 2 cara:
Belajar
mendapatkan ilmu dari kitab-kitab (buku-buku) yang dibacakan oleh guru-guru
yang mengajar, lalu mereka mengistimbatkan (menyimpulkan) permasalahan ilmu
pengetahuan tersebut kepada murid-muridnya, dan dengan jalan mengikuti para
ulama terkenal yang mengarang kitab-kitab tersebut serta mendengarkan secara
langsung pelajaran yang mereka berikan.
Ibnu Khaldun
lebih menyukai cara yang kedua karena perlawatan dengan cara ini tidak lain
adalah perjalanan yang bertujuan untuk mengobservasi pengetahuan secara
langsung pada sumbernya, serta mendiskripsikan apa yang diamati secara
langsung. Tujuan dari perlawatan ini ialah memperoleh pengalaman dan
pengetahuan langsung dari sumbernya yang asli, meskipun caranya berlain-lainan,
namun tak diragukan lagi bahwa sesungguhnya menerima pelajaran dari para ulama
yang mempunyai keahlian khusus di rumah mereka memberikan kepada pelajar suatu
pandangan dan observasi khusus. Kita dapat firman Allah dalam kitab suci
Al-Qur’an yang berkaitan dengan widyawisata ini sebagai berikut:
“Katakanlah:
“Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah).” (Ar-rūm, 42)[14].
4.
Tidak Memberikan Presentasi yang Rumit Kepada Anak yang Baru
Belajar Permulaan
Ibnu Khaldun
mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan definisi-definisi,
dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khsusnya pada permulaan belajar akan tetapi
seharusnya guru memulai dengan memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas
nas-nas serta mengistimbatkan (mengambil kesimpulan) yang khusus. Pemahaman
anak terhadap pengertian kaidah dan norma-norma serta definisi-definisi berarti
menghadapkan anak kepada kaidah-kaidah ilmu yang bersifat menyeluruh dan
menghadapkan kepada anak permasalah (problema) ilmu secara sekaligus, hal ini
jelas belum dapat dimengerti oleh anak karena usianya yang belum matang, dan
juga karena hal itu akan menyebabkan akal pikirannya dibebani dengan kesulitan
dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirnya yang akan berakhir pada apa
ang dinamakan “kelumpuhan akademis”. Hal demikian akan mengakibatkan anak lari
dari ilmu dan membencinya.
Bukan ilmu yang
salah, tetapi metodenya yang buruk, karena tidak memperhatikan kecenderungan
anak dan kesiapan kemampuannya.
Pendapat beliau
tentang metode di atas dan tujuan penggunaannya, adalah sejalan dengan
psikologi modern saat ini, yang mengajak untuk memperhatikan pengalaman yang
telah di peroleh anak sebelumnya, yang berkaitan dengan pengetahuan empiris,
untuk dikembangkan ke arah pengalaman barunya.
Dari segi
pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran yang ditetapkan
berdasarkan atas prinsip-prinsip mengajar murid dengan kaidah-kaidah atau
norma-norma pada permulaannya disertai dengan contoh-contoh yang sesuai,
dianalogikan dengan contoh-contoh yang telah ia saksikan sendiri, maka metoda
tersebut dinamakan metode analogi yang simultan seperti mengajarkan pengertian
kalimat.
ضربزيدعمروا
“Zaed telah memukul ‘Amr”
Metode demikian
tidak sesuai dengan pendapat Ibnu Khaldun, karena beliau berpendapat bahwa
contoh-contoh lebih dahulu diberikan disertai dengan nas-nas kesaksian untuk
diambil takrif (definisi) dan kaidah-kaidah secara umum, maka metode demikian
ini sejalan dengan metode ilmiah.
Dalam hubungan
ini, bahan pelajaran yang bersifat lughawi dan gaya-gaya bahasanya adalah
merpakan bahan pengetahuan yang masih kasar tapi bagus dan khusus sifatnya,
yang disajikan oleh guru sesuai dengan kemampuan murid. Kemudian didiskusikan
dari segi sastranya agar dipahami dan dirasakan arti yang terkandung di
dalamnya. Setelah itu mengalihkan pandangan murid kepada dasar-dasar gramatika
yang terkandung dalam nas Al-Qur’an, atau ibarat-ibarat dan gaya-gaya bahasanya
yang dapat diambil daripadanya.
Dengan
menggunakan metode diskusi dan tanya jawab, maka dapat dilakukan istimbat untuk
dirumuskan definisi dan kesimpulan daripada apa yang telah dibicarakan[15].
5.
Harus Ada Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu
Ibnu Khaldun
mendorong agar guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengkaitkan dengan
ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan ilmu satu sama lain
menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian terdahulu tentang
perlunya mengajar dengan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah atau
terputus-putus, agar memudahkan orang tidak lupa. Sebenarnya masalah waktu itu
sendiri yang memegang peranan apakah memperlancar atau menghambat kemampuan
memperoleh ilmu.
Dalam hal ini
Ibnu Khaldun tidak setuju memisah-misah dan memotong-motong ilmu demi untuk
memberikan waktu istirahat dan memperbaharui semangat belajar, akan tetapi
beliau mengartikan bahwa akan menimbulkan kelupaan yang berkepanjangan terhadap
ilmu yang telah dipelajari. Jika terjadi pemutusan hubungan antara ilmu-ilmu
yang dipelajari dalam jangka waktu lama, akhirnya ia tidak dapat mengkaitkan
lagi dengan berbagai ilmu yang telah dipelajari.
Sejalan dengan
pandangan beliau adalah tentang pembahasan mengenai bahasa Arab pada masa
sekarang, dianjurkan agar diajarkan kitab-kitab mutholaah yang menyajikan topik
pembahasan satu macam dalam beberapa pertemuan yang berturut-turut dengan
menggalakkan keinginan untuk menserasikan dan menganalisa isi kitab dengan
mengkaitakn antara satu sama lain ke dalam jiwa anak.
Menurut Ibnu
khaldun ilmu adalah penguasaan dan penguasaan ilmu itu tidaklah keadaannya
tetap dan kuat kemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus menerus atau
mengulang-ulanginya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktekkan maka penalaran
akan terlupakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk
menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahan (lenyap)[16].
6.
Tidak Mencampurkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu
Ibnu Khaldun
menganjurkan agar guru tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu kepada
muridnya karen sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan
terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami
problmatikanya yang lailn. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan. Jika
ia telah menyelesaikan satu ilmu, maka ilmu itu menjadi sarana yang dapat
menciptakan keberhasilan memecahkan dan memahami problema-problemanya.
Pandangan
beliau tersebut menunjukkan bahwa takhassus (spesialisasi) ilmu itu penting;
karena tak mungkin orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu
dan memahami deetail-detailnya tanpa mentuntaskan studi ilmu itu. Begitu juga
pendapat beliau, bahwa tak mungkin mengajarkan anak dengan problema-problema
dari dua macam ilmu yang berbeda (dalam satu waktu berdasarkan alasan yang
telah diuraikan di atas)[17].
Hendaknya
Jangan Mengajarkan Al-Qur’an Kepada Anak Kecuali Setelah Sampai Pada Tingkat
Kemampuan Berfikir Tertentu.
Ibnu Khaldun
mencela keras kebiasaan yang berlaku pada zamannya, di mana pendidikan anak
tidak didasrkan atas metode yang benar. Karena anak diwajibkan menghafal
Al-Qur’an pada permulaan belajar berdasarkan alasan bahwa Al-Qur’an harus
diajarkan kepada anak sejak dini agar ia dapat menulis dan berbicara dengan
bahasa yang benar, dan al Qur’an depandang mempunyai kelebihan yang dapat
menjaga anak dari perbuatan yang rendah.
Itulah
kepercayaan para pendidik masa itu mereka menerapkan cara-cara mengajarkan
Al-Qur’an dengan mewajibkan anak untuk menghapalnya tanpa mengetahui makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat tersebut.
Mereka
berasumsi bahwa pada waktu bersamaan menghapalkan Al-Qur’an dengan mewajibkan
anak untuk menghapalnya tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalam
ayat-ayat tersebut. Mereka berasumsi bahwa pada waktu bersamaan menghapalkan
Al-Qur’an pada masa kanak-kanak secara dini akan mengembangkan kemampuan
belajar bahasa mereka.
Dalam hal ini
beliau mengatakan yang bernada membantah pendapat para pendidik masa itu dengan
argumentasinya sebagai berikut:
“Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan yang tidak ada pengaruhnya terhadap bahasa,
sebelum anak memahami artinya, dan merasakan gaya-gaya bahasanya; Juga
Al-Qur’an tidak punya pengaruh lughawi dan maknawi kecuali setelah anak
mencapai tingkat tertentu dari kematangan berfikir (yang memungkinkan ia
memahami maknanya).”
Oleh karena
itu, Ibnu Khaldun menganjurkan untuk mengakhirkan (menunda) menghafal Al-Qur’an
sampai umur yang layak, sedangkan pendidikan akhlak beliau tidak menganjurkan
untuk mengakhirkannya dari sinilah nampak jelas bagi kita perbedaan pendapat
antara Ibnu Khaldun dengan pendapat Reausseau, (seorang pendidik Perancis
terkenal dan ahli sosiologi dan filsuf)[18].
7.
Menghindari dari Mengajarkan Ilmu dengan Ikhtisarnya
Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa di antara faktor yang berakibat buruk dari metode pengajaran
adalah mengikhtisarkan (meringkas) isi buku teks; kebanyakan para ulama
mutaakhirin senang menggunakan metode ini, maka berkembanglah pada masa itu
buku (kitab-kitab) yang berisi ikhtisar dan matan-matannya saja.
Di antara ulama
yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun ialah Ibnu al-Haji yang meringkaskan fiqih
dan usul fiqih sedangkan Ibnu Malik yang mengikhtisarkan ilmu nahwu yang
merusak pengajaran dalam mempelajari ilmu dengan membuang-buang waktu bagi
murid karena harus mengikuti ringkasan kata-kata yang sulit dimengerti, dan
sukar untuk diambil permasalahan dari dalamnya. Hal ini menghambat jalan
keberhasilan dari proses mengajar.
Mengapa umat
mutaakhkhirin (Kontemporer) mau menerima kitab-kitab yang berisi ikhtisar itu;
karena dengan kitab mukhtashar tersebut memudahkan murid-murid mereka untuk
menghapalkannya, akan tetapi mereka dengan cara ini membebani murid-muridnya
dengan banyak kesulitan, yang mana menghalangi usaha meningkatkan
kemampuan-kemampuan kreativitas mereka.
Jika para tokoh
pendidik sekarang menentang ikhtisar ilmu yang ditulis dalam buku-buku dan
melarang untuk dipakai di sekolah-sekolah, maka tantangan demikian itu bukanlah
baru, karena jauh sebelumnya Ibnu Khaldun pernah menentangnya; sebab buku-buku
ikhtisar yang menerangkan ilmu pengetahuan dengan segala seginya, menurut
beliau, dapat melemahkan akal pikiran, dan mengacaukan sistem berpikir serta
membuang-buang waktu belajar murid. Pendidikan modern bersikap menentang
(sebagaimana sikap Ibnu Khaldun) terhadap pola dan metode pendidikan dengan
sistem ikhtisar (ringkasan)[19].
8.
Sangsi Terhadap Murid Merupakan Salah Satu Motivasi Dorongan
Semangat Belajar (Bagi Murid yang Tidak Disiplin)
Ibnu Khaldun
menganjurkan agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak menggunakan
kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar
membahayakan jasmani anak (atau murid).
Jika anak
diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang
kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat
kotor, dan saat itu anak tidak dapat menyatakan apa yang tergetar dalam hati
kecilnya, akhirnya rusaklah makna kemanusiaan dalam dirinya sejak masa
kanak-kanak.
Dalam hubungan
dengan pendapat beliau tentang metode hukum itu, beliau menyatakan: “Lihatlah
kepada bangsa Yahudi bagaimana mereka berakhlak buruk, sehingga mereka diberi
sifat yang dikenal di sembarang ufuk (arah) dan zaman dengan watak “sempit
dada” yang artinya menurut istilah yang terkenal ialah berbuat busuk dan tipu
daya.”
Ibnu Khaldun
menunjukkan bukti-bukti menurut pandangannya yang teliti dan pemikirannya yang
dalam. Bukti-bukti yang diambil dari kejadian yang terjadi di antara kita dan
bangsa Yahudi tentang perbuatan yang banyak dikenal orang banyak, adalah benar-benar
memperkuat watak orang yahudi terutama yang berpolitik zionisme; Mereka
berwatak keji, berkhianat, dan bertipu daya.
Sifat-sifat
demikian melahirkan sikap dan perbuatan kekerasan, kerendahan dan kekejaman[20].
E. PENDIDIK
Pendidik dalam pandangan Ibnu Khaldun haruslah orang yang
berpengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian yang baik. Karena pendidik
selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh
atau suri tauladan bagi peserta didiknya. Ibnu Khaldun menganjurkan agar para
guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya,
mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan
perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta
didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku
bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut
dimarahi guru atau takut dipukuli. Dalam hal ini, keteladanan guru yang
merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu
Khaldun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta
nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh
nasehat, pengajaran atau perintah-perintah[21].
F. PESERTA DIDIK
Sedangkan konsepnya mengenai peserta didik, bahwa peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta
didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah
yang lebih baik dengan potensi dan fitrah yang telah ada. Peserta didik ibarat
wadah yang siap untuk di beri pengetahuan yang baru.
Kesiapan dari kematangan murid tersebut berkembang setingkat demi
setingkat, bertentangan dengan problema ilmu yang dihadapkan kepadanya. Dan
proses pengalihan ilmu untuk mendekati, dengan cara menganalisa problema
tersebut, sehingga kemampuan untuk menyiapkan diri mereka ilmu itu benar-benar
sempurna, kemudian baru mendapatkan hasilnya”[22].
Daftar
pustaka :
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Terjemah Mastur Irham
dkk, Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2011 M, Pengantar Penerbit Hlm. xii-xiii.
http://muhsoni-dzaki.blogspot.com/, di akses
pada pukul 08.53, Hari Sabtu, 28 Desember 2012 M
Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi,
Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196.
[1] Zainuddin (eds),Pendidikan Islam
dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer.(Malang:UIN MALANG
Press,2009),hlm.166.
[2] Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-Hadhari al-Islami, diterjemahkan oleh
Muhammad Yasar, dan Muhammad Hikam dengan judul, Mencari Format Peradaban
Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2005)
[3] Said Ismail Ali, A’lam Tarbiyah
fi al-Hadharah al- Islamiyah, Diterj. Muhammad Zaenal Arifin. Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh.
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010)
[4] Mappaanro, Rasyid Ridho dan
Pemikirannya tentang Pendidikan Formal. (Makassar: Alauddin Press, 2008)
[5]Ibd
[6] Ali-al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tunisiy. Dirasatun Muqaranah fi al-Tarbiyah al-Islamiya. Diterjemahkan oleh
H.M. Arifin. Perbandingan Pendidikan
Islam. Cet. II (Jakarta:Rieneka Cipta,2002)
[7] Abbudin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam: Kajian Filsafat
Pendidikan Islam. Cet. II: (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001)
[8] Mappanganro, Op.cit
[9]Ibnu
Khaldun, Mukaddimah, Terjemah Mastur Irham dkk, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
2011 M, Pengantar Penerbit Hlm. xii-xiii
[10]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196
[11]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 199-200
[12]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 201
[13]Ibid,.
Hlm. 201-202
[14]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 203-204.
[15]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 203-204.
[16]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M. 203-204
[17]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 205-206.
[18]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 206-207
[19]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 208
[20]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 209-210
[21]http://muhsoni-dzaki.blogspot.com/,
di akses pada pukul 08.53, Hari Sabtu, 28 Desember 2012 M
[22]Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar