DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang...........................................................................................................3
- Rumusan
Masalah......................................................................................................3
- Tujuan.........................................................................................................................3
BAB II
- Kelembagaan dalam pendidikan islam....................................................................4
- Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam...........................................................6
- Tanggung jawab lembaga pendidikan islam..........................................................7
- Keluarga sebagai pendidikan islam.........................................................................8
- Masjid sebagai lembaga pendidikan islam............................................................10
- Pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan islam........................................13
- Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam......................................................14
BAB III
KESIMPULAN DAN
PENUTUP.....................................................................................17
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Islam adalah
doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada hamba-Nya melalui para
Rasul. Oleh karena itu Islam itu memiliki sifat yang universal ke ranah
kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Karena pendidikan islam
merupakan salah satu displin ilmu keislaman yang membahas ojek-objek diseputar
pendidikan.
Maka dari itu
terpentuklah kelembagaan pendidikan dalam islam yang memiliki prinsip-prinsip,
tanggung jawab dalam pendidikan islam yang meliputi:
1.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam yaitu: ayah
serta ibu.
2.
Masjid sebagai lembaga pendidikan Islam.
3.
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam.
- Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Lembaga Pendidikan Islam?
2.
Apa saja Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam?
3.
Apa Peran dari Lembaga Pendidikan Islam?
- TUJUAN
1.
Mampu memahami pengertian lembaga pendidikan islam
2.
Mengetahui apa saja prinsip-prinsip lembaga pendidikan islam
3.
Mengetahui peran dari lembaga pendidikan islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kelembagaan Dalam Pendidikan Islam
Secara Kamus Besar
Bahasa Indonesia lembaga adalah bakal dari suatu, asal mula yang akan menjadi
sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, tujuan, ikatan badan, badan atau
organisasiyang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan.
Secara Termology
Lembaga Pendidikan Islam adalah suatu
wadah, atau tempat berlangsungnya sebuah proses pendidikan islam, lembaga
tersebut mengandung konkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian
yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta
penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
Lembaga menurut
Ensiklopedia Indonesia, lembaga pendidikan itu merupakan suatu wadah pendidikan
yang dikelola demi mencapai hasil pendidikan yang diinginkan.
Pendidikan islam termasuk masalah sosial, sehingga
dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Maksud
lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas
pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi yang terarah dalam mengikat
individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial
dasar.[1]
Secara konsep,
lembaga sosial tersebut tertidiri atas tiga bagian yaitu:[2]
1. Asosiasi,
misalnya universitas atau persatuan,
2. Organisasi
khusus, misalnya rumah sakit dan sekolah,
3. Pola
tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang
mempunyai tujuan tertentu.
Dalam Islam, pola tingkah laku yang telah melembaga
pada jiwa setiap individu muslim mempunyai dua bagian, yaitu lembaga
yang tidak dapat berubah dan lembaga yang dapat berubah.
1. Lembaga
yang Tidak Dapat Berubah
Lembaga tidak berubah adalah sesuatu kepercayaan yang
didalamnya berkaitan hubungan manusia dengan Allah yang terwujud dalam sebuah
pola tingkah laku yang mengubah manusia itu menuju manusia yang lebih baik
dalam hal perbuatan sehingga didalamnya tidak terjadi berbedaan status
ekonominya namun yang ada hanya perbedaan keimanannya dihadapan Allah.
a. Rukun
Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia kepada Tuhan, Malaikat, Kitab, Rasul,
Hari Kiamat, dan Takdir.
b. Ikrar
keyakinan (bacaan syahadatain), yaitu lembaga yang merupakan pernyataan atas
kepercayan manusia.
c. Thaharah,
yaitu lembaga penyucian manusia dari segala kotoran, baik lahir maupun batin.
d. Shalat,
yaitu lembaga pembentukan pribadi-pribadi yang dapat membantu dan menemukan
pola tingkah laku untuk membangun atas dasar kesejahahteraan umat dan mencegah
perbuatan fakhsya’ wal munkar.
e. Zakat,
yaitu lembaga pengembangan ekonomi umat, serta lembaga untuk menghilangkan
stratifikasi status ekonomi masyarakat yang tiak seimbang.
f. Puasa,
yaitu lembaga untuk mendidik jiwa, dengan mengendalikan hawa nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan fisik dan psikologis.
g. Haji,
yaitu lembaga pemersatu dalam komunikasi umat secara keseluruhan.
h. Ihsan,
yaitu lembaga yang melengkapi dan meningkatkan serta menyempurnakan amal dan
ibadah manusia.
i.
Ikhlas, yaitu
lembaga pendidikan rasa dan budi sehingga tercapai suatu kondisi kenikmatan
dalam ibadah dan beramal.
j.
Takwa, yaitu
lembaga ynag menghubungkan antara manusia dan Allah SWT. Sebagai suatu cara untuk membedakan tingkat dan derajat
manusia.
2. Lembaga
yang Dapat Berubah
Lembaga yang dapat berubah adalah susutu yang didalamnya
berkaitan dengan manusia itu sendiri dengan pola tingkah laku yang didalamnya
menjadi sebuah acuan yang untuk memutuskan segala sesuatu dengan hasil
musyawarah atau melalui ijtihad yang dilakukan manusia sehingga bisa dapat
berubah-ubah karena bukan berasal dari Allah.
a.
Ijtihad, yaitu lembaga berpikir sebagai upaya yang
sungguh-sungguh dalam merumuskan suatu keputusan masalah,
b.
Fikih, yaitu lembaga hukum islam yang diupayakan oleh
manusia melalui lembaga ijtihad,
c.
Akhlak, yaitu lembaga nilai-nilai tingkah laku yang
dibuat acuan oleh sekolompok masyarakat dalam pergaulan,
d.
Lembaga Ekonomi, yaitu lembaga yang mengatur hubungan
ekonomi masyarakat dengan mencangkup segala aspeknya,
e.
Lembaga
pergaulan social
f.
Lembaga Politik
g.
Lembaga Seni
h.
Lembaga Negara
i.
Lembaga ilmu
pengetahuan dan teknologi
j.
Lembaga
Pendidikan
Dengan demikian, lembaga pendidikan islam adalah
suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga sosial,
baik yang permanen ataupun yang berubah-ubah.
B. Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk lembaga islam apa pun dalam islam harus
berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati sebelumnya,
sehingga antara lembaga satu dengan lembaga yang lainya tidak terjadi
tumpang-tindih.
Prisip-prinsip Islam
itu adalah:
1.
Prinsip
pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api
neraka (QS.at-Tahrim: 6).
2. Prinsip
pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang ememiliki keselarasan dan
keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagai realisasi cita-cita
bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang senantiasa memanjatkan doa
sehari-harinya (QS. Al-Baqarah: 201, al-Qashas: 77).
3. Prinsip
pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu
pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan diri pada Khaliknya.
Keyakinan dan keimanan sebagai penyuluh terhadap hal budi yang sekaligus
mendasar ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal
budi (QS. Al-Mujadilah: 11).[3]
4. Prinsip
amar ma’ruf dan nahi munkar dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu
kenistaan (QS. Ali Imran: 104, 110).
5. Prinsip
pengembangan daya piker, daya nalar, daya rasa sehingga dapat menciptakan anak
didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsanya.
C. Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam
Sebelum memasuki siapa yang bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan lembaga pendidikan islam, lebih baik kita melihat
pendapat para ahli dalam merumuskan penanggung jawab penyelenggara pendidikan
pada umumnya. Seorang akhli filsafat, antropologi, dan fenomena bernama
Lavengeld menyatakn bahwa yang bertanggung jawab di atas menyelenggarakan
pendidikan adalah:
1.
lembaga keluarga yang mempunyai wewenang bersifat
kodrati,
2.
lembaga Negara yang mempunyai wewenang berdasarkan
undang-undang,
3.
lembaga gereja yang mempunyai wewenang berasal dari
amanat Tuhan.
Sebaliknya Ki Hajar
Dewantara (RM Soewardi Soerjaningrat) memfokuskan penyelenggarakan lembaga
pendidikan dengan Tricentral yang
merupakan tempat pergaulan anak didik yang amat penting baginya. Tricentral
itu ialah :
1. Alam
keluarga yang membentuk lembaga pendidikan keluarga.
2. Alam
perguruan yang membentuk lembaga pendidikan sekolah,
3. Alam
pemuda yang membentuk lembaga pendidikan masyarakat.[4]
Sementara menurut Sidi Gazalba,[5]
yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah:
1. Rumah
Tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai
usai sekolah. Pendidikanya adalah orang tua, sanak kerabat, famili, saudara-saudra, teman sepermainan, dan
kenalan pergaulan,
2. Sekolah,
yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai
ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidikan adalah guru yang profesional,
3. Kesatuan
sosial, yaitu pendidikan tersier yang merupakan pendidikan yang terakhir tapi
bersifat permanen. Pendidikannya adalah kebudayaan, adat istiadat, dan suasana
masyarakat setempat.
Islam juga mengajarkan untuk amar ma’aruf (tindakan
proaktif) dan nahi munkar ( tindakan reaktif) terhadap lingkungan sekitarnya
(QS.ali Imran: 104, 110). Ajaran ini berimpilkasi kan bahwa pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama, yang mencangkup tanggung jawab keluarga,
sekolah, pemerintah, dan lingkungan sosial.
Ada beberapa wujud pendidikan islam dalam bahasan
kali ini, penulis memilih lembaga keluarga, masjid/musolah, pondok pesantren dan madrasah.
D. Keluarga Sebagai Pendidikan Islam
Dalam Islam, Keluarga dikenal dengan istilah usrah,
nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga (kawula dan warga) dalam pandangan
antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia
sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja
sama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya.
Intinya keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah, dan ibu
mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda
kodrat. Ayah berkewajiban
mencari nafkah untuk keluarga melalui
pemanfaatan karunia Allah SWT. Di muka bumi (QS. al-Jumu’ah: 10) dan
selanjutnya di nafkahkan pada
anak dan istrinya (QS. al-Baqarah: 228-233). Dan kewajiban ibu adalah menjaga,
memelihara, dan mengelola keluarga dirumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan
merawat anaknya.
Anak merupakan amanat
Allah SWT. bagi kedua orang tuanya. Ia mempunyai jiwa yang suci dan cemerlang,
apabila sejak kecil di didik
dan di latih dengan kebaikan dengan kontinu
maka ia akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, namun juga bisa
sebaliknya apabila seorang anak di didik
dengan kebiasan yang buruk akan ia akan tumbuh dengan kebiasan perbuatan yang
buruk pula.
Oleh karena itu, dalam keluarga perlu dibentuk
lembaga pendidikan, karena keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan
utama. Hal tersebut karena kewajiban
mendidik anak merupakan naluri paedagogis
bagi setiap individu yang mengingikan anaknya lebih baik daripada keadaan
dirinya, sehingga perilaku pedidikan sebagai akibat naluri untuk melanjutkan
dan mengembangkan keturunannya.[6]
Dalam penanam hidup beragama, fase kanak-kanak
merupakan fase yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama.
Teknik yang paling tepat dalam proses
pendidikan adalah dengan teknik imitasi (al-qudwa),
yaitu proses pembinaan anak secara tidak langsung, yaitu ayah dan ibu
membiasakan hidup rukun, istiqamah
melakukan ibadah baik dirumah, dimasjid ataupun ditempat lainnya sambil
mengajak anak supaya anak mampu mengikuti dan meniru hal-hal yang dilakukan orang tuanya,
sekaligus si anak juga memperoleh ilmu pengetahuan serta memperoleh pendidikan
moral dan sikap mental.
Dengan demikian, orang tua dituntut untuk menjadi
pendidik yang memberikan pengetahuan pada anak-anaknya, serta memberikan sikap
dan ketrampilan yang memadai, memimpin keluarga, dan mengatur kehidupannya,
memberikan contoh sebagai keluarga yang ideal, dan bertanggung jawab dalam
kehidupan keluarga, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.[7]
Dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak
didik dari orang tuanya adalah:
1. Dasar
pendidikan budi pekerti, member norma pandangan hidup tertentu walaupun masih
dalam bentuk yang sederhana kepada anak didik.
2. Dasar
pendidikan sosial, melatih anak dalam tata cara pergaulan yang baik dalam
lingkungan sekitar.
3. Dasar
pendidikan Intelek, anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur
bahasa yang baik, kesenian yang disajikan dalam bentuk permainan.
4. Dasar
pembentukan kebiasan, pembinaan kepribadian yang baik dan wajar.
5. Dasar
pendidikan kewarganegaraan, memberikan norma nasionalisme dan patriotism, cinta
tanah air, dan berperi kemanusiaan
yang tinggi,[8]
6. Dasar
pendidikan agama, melatih dan membiasakan ibadah kepada Allah SWT., sembari
meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaan anaknya kepada-Nya.
Hasil
pendidikan yang disampaikan oleh ayah dan ibu memiliki corak yang berbeda.
Perbedaan itu dapat kita lihat sebagai berikut:
·
Ayah
Ayah merupakan
sumber kekuasaan yang memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen dan
kepemimpinan, sehingga menghasilkan kecerdasan intelektualnya.
·
Ibu
Seorang ibu mempunyai peran utama dalam pembinaan dan
pendidikan anak-anaknya di keluarga, karena ibu sumber kasih sayang yang
memberikan pendidikan sifat ramah tamah, asah, asih dan asuh kepada anaknya. Dan
ibu merupakan sebagi pendidik
bidang emosi anak yang dapat mendidik anaknya berupa kepakaan daya rasa dalam
memandang sesuatu, yang melahirkan kecerdasan emosional.
E. Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan
di masjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu
dibutuhkan suatu lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya.
Al-‘Abdi[9] menyatakan bahwa masjid merupakan tempat
terbaik untuk kegiatan pendidikan. Karena itu, masjid merupakan lembaga kedua
setelah lembaga pendidikan keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari
sekolah menengah sampai ke jenjang sekolah tinggi.
Fungsi masjid dapat lebih efektif
bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar
mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Perpustakaan, yang menyediakan
berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk
berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal dengan
istilah “I’tikaf ilmiah”.
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk traning (tadrib)
remaja masjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut
dengan Sekolah Masjid[10].
Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk
membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim
dibandingkan dengan proporsi materi umum.
4. Apabila memungkinkan, teknik khotbah
dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khatib dengan para
audien, terjadi dialog
5. aktif satu sama lain, sehingga
situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik dialog (hiwar)
dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
·
Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan.
·
Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau
kaum cendikiawan, sehingga hanya memungkinkan di masjid perkotaan, pesantren
dan masjid kampus.
·
Diperlukan khatib
(moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat
mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik.
·
Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh
sebelumnya para audien sudah siap terlibat langsung.
·
Masalah yang dibahas harus masalah yang waqi’iyah, yakni
masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang
dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan
informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat
dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat
Idul Fitri, Idul Adha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah
tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam.
Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari
sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran
studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu
agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir
sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secara
kaku.
Kedua,
peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan.
Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di
masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersiafat
amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di
masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam
melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[11]
F. Pondok Pesantren
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu
pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid
tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “Kuttab” (pondok
pesantren). Pondok
Pesantren, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan
Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah
(sistem wetonan). Pada tahap berikutnya pondok pesantren mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh
dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi
oleh pendidik dan peserta didik.
Di
Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren” yaitu suatu
lemabaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik)
yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid
yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung
adanya pemondokan
atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
1.
Tujuan umum,
yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam,
yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat
sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.
Tujuan khusus,
yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan
mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai
lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model
pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan
metode pengajaran wetonan dan serogan. Di Jawa Barat, metode
tersebut diistilahkan dengan bendungan, sedangkan di Sumatera digunakan
istilah halaqah.[13]
1.
Metode wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya
terdapat seorang kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan
santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kyai.
Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
2.
Metode serogan. Metode yang santrinya cukup pandai
men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca
dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenari kyai. Metode ini dapat dikatakan
sebagai proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi
kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis
Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir
Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut
memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan
istilah “kitab kuning”.[14]
Pada tahap
selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga
pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya didirikan sekolah, baik
formal maupun nonformal.
Akhir-akhir
ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka
inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:
1.
Mulai akrab dengan
metodelogi modern.
2.
Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional,
artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3.
Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan
ketergantungannya dengan kyai tidak absolute, dan sekaligus dapat membekali
para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun
keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
4.
Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Di pihak
lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai.
Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah
menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas
kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini,
sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis,
misalnya:
1. Perubahan sistem pengajaran dari
perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal
dengan istilah madrasah (sekolah);
2. Pemberian pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;
3. Bertambahnya komponen pendidikan
pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan
agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;
4. Lulusan pondok pesantren diberikan ijazah
sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu
yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
G. Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Madrasah
adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau
tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, ilmu pengetahuan pada
umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di
seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di
dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.
Sebagian
ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani
Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui Madrasah Nidzamiah yang
didirikannya pada tahun 1065 M. Selanjutnya, Gibb dan Kramers
menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah
al-Din al-Ayyubi.
Kehadiran
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar
belakang, yaitu:[15]
·
Sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam;
·
Usaha
penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan
sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah;
·
Adanya sikap
mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada
Barat sebagai sistem pendidikan mereka
·
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari
hasil akulturasi.
Menurut Abuddin
Nata, khususnya di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah
jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan
madrasah di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya
terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah
Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah
umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana yang benar-benar menenuhi
elemen-elemen institusi secara sempurna, yang tidak terjadi pada
lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Frank P. Besag dan Jack L. Nelson
menyatakan elemen institusi sekolah terdiri atas tujuh macam, yaitu:
1.
Utility
(kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga sekolah diharapkan memberi kontribusi
terhadap tuntutan masyarakat yang ada,
tuntutan kelembagaan sendiri dan aktor.
2.
Actor
(pelaku). Actor berperan dalam pelaksanaan tujuan dan fungsi kelembagaan,
sehingga actor tersebut mempunyai status dalam institusi tempat ia berada.
3.
Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar dengan bebrerapa
bentuk dan hubungan-hubungannya antar-aktor.
4.
Share in society (tersebar dalam masyarakat). Institusi memberikan
seperangkat nilai, ide, dan sikap dominan dalam masyarakat, serta mempunyai
hubungan-hubungan dengan institusi lain, baik terhadap sistem politik, ekonomi
masyarakat, kebudayaan, pengetahuan, dan kepercayaan.
5.
Sanction
(sanksi). Institusi memberikan penghargaan dan hukuman bagi actor. Wewenang
sanksi diperlakukan bila berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat tempat institusi berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai dengan
ukurannya.
6.
Ceremony
(upacara, ritus, dan simbol). Upacara dalam pendidikan dilakukan sebagai
pengikat tentang status, pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda.
7.
Resistance to change (menentang perubahan). Institusi didirikan untuk tujuan
sosial tertentu, sehingga ia hidup dengan cara tertentu pula. Oleh karena itu,
actor sering khawatir melakukan kesalahan, walaupun hal-hal yang dilakukan
mengandung inovasi positif. Perubahan yang terjadi akan menjadi sorotan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Lembaga pendidikan islam adalah suatu
bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permanen ataupun yang
berubah-ubah. Ada beberapa
wujud pendidikan islam dalam bahasan
kali ini
memilih lembaga keluarga, masjid/musalah, pondok pesantren dan madrasah.
Ada beberapa jenis lembaga pendidikan Islam, misalnya:
1.
Keluarga
adalah lembaga pendididkan pertama yang kita kenal dan yang menjadi pendidik
dalam keluarga adalah orang tua.
2.
Masjid
adalah tempat untuk melakukan ibadah, selain itu juga masjid digunakan sebagai
tempat belajar (pendidikan).
3.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang mana didalamnya
terdapat kyai sebagai pendidik, santri sebagai peserta didik, masjid sebagai
tempat untuk melaksanakan pendidikan dan asrama sebagai tempat tinggal santri.
4.
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib
Abdul, Mudzakkir Jusuf, 2010, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana
Prenada Media
Roqib
Moh, 2009, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS
Bqwidianita.
Blogspot.co.id/2012/10/jenis-jenis lembaga pendidikan islam.html
[3] Arifin HM, Ilmu
Pendidikan Islam: Suatu tinjauan teoritis dan Praktis. (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991). hlm.
39-40.
[5] Sidi Gazalba, Pendidikan
Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, (Jakarta: Bhratara,
1970), hlm.
26-27.
[6] Siti
Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan,
Saduran dari Crow and Crow, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1976), hlm. 112-113.
[8] Ali Saifullah, Pendidkan,
Pengajaran dan Kebudayaan. (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hlm. 111.
[9] Muhammad Athiyah
al-Abrasi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Talim,
(Saudi Arabiya: Dar al-Ahya’, tt.), hlm. 59.
[14] Muhammad Thoclhah Hasan, Islam
dalam Perspektif Sosial-Budaya. (Jakarta: Gelasa Nusantara, 1987), hlm. 103-104.
[15] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar