Rabu, 22 Maret 2017

KELEMBAGAAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang...........................................................................................................3
  2. Rumusan Masalah......................................................................................................3
  3. Tujuan.........................................................................................................................3
BAB II
  1. Kelembagaan dalam pendidikan islam....................................................................4
  2. Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam...........................................................6
  3. Tanggung jawab lembaga pendidikan islam..........................................................7
  4. Keluarga sebagai pendidikan islam.........................................................................8
  5. Masjid sebagai lembaga pendidikan islam............................................................10
  6. Pondok  pesantren sebagai lembaga pendidikan islam........................................13
  7. Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam......................................................14
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP.....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................18





BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Islam adalah doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada hamba-Nya melalui para Rasul. Oleh karena itu Islam itu memiliki sifat yang universal ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Karena pendidikan islam merupakan salah satu displin ilmu keislaman yang membahas ojek-objek diseputar pendidikan.
Maka dari itu terpentuklah kelembagaan pendidikan dalam islam yang memiliki prinsip-prinsip, tanggung jawab dalam pendidikan islam yang meliputi:
1.      Keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam yaitu: ayah serta ibu.
2.      Masjid sebagai lembaga pendidikan Islam.
3.      Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Lembaga Pendidikan Islam?
2.      Apa saja Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam?
3.      Apa Peran dari Lembaga Pendidikan Islam?
  1. TUJUAN
1.      Mampu memahami pengertian lembaga pendidikan islam
2.      Mengetahui apa saja prinsip-prinsip lembaga pendidikan islam
3.      Mengetahui peran dari lembaga pendidikan islam
 







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kelembagaan Dalam Pendidikan Islam
Secara Kamus Besar Bahasa Indonesia lembaga adalah bakal dari suatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, tujuan, ikatan badan, badan atau organisasiyang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan.
Secara Termology Lembaga Pendidikan Islam  adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya sebuah proses pendidikan islam, lembaga tersebut mengandung konkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
Lembaga menurut Ensiklopedia Indonesia, lembaga pendidikan itu merupakan suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil pendidikan yang diinginkan.
Pendidikan islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Maksud lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[1]
Secara konsep, lembaga sosial tersebut tertidiri atas tiga bagian yaitu:[2]
1.      Asosiasi, misalnya universitas atau persatuan,
2.      Organisasi khusus, misalnya rumah sakit dan sekolah,
3.      Pola tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang mempunyai tujuan tertentu.
Dalam Islam, pola tingkah laku yang telah melembaga pada jiwa setiap individu muslim mempunyai dua bagian, yaitu lembaga yang tidak dapat berubah dan lembaga yang dapat berubah.


1.      Lembaga yang Tidak Dapat Berubah
Lembaga tidak berubah adalah sesuatu kepercayaan yang didalamnya berkaitan hubungan manusia dengan Allah yang terwujud dalam sebuah pola tingkah laku yang mengubah manusia itu menuju manusia yang lebih baik dalam hal perbuatan sehingga didalamnya tidak terjadi berbedaan status ekonominya namun yang ada hanya perbedaan keimanannya dihadapan Allah.
a.       Rukun Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia kepada Tuhan, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, dan Takdir.
b.      Ikrar keyakinan (bacaan syahadatain), yaitu lembaga yang merupakan pernyataan atas kepercayan manusia.
c.       Thaharah, yaitu lembaga penyucian manusia dari segala kotoran, baik lahir maupun batin.
d.      Shalat, yaitu lembaga pembentukan pribadi-pribadi yang dapat membantu dan menemukan pola tingkah laku untuk membangun atas dasar kesejahahteraan umat dan mencegah perbuatan fakhsya’ wal munkar.
e.       Zakat, yaitu lembaga pengembangan ekonomi umat, serta lembaga untuk menghilangkan stratifikasi status ekonomi masyarakat yang tiak seimbang.
f.       Puasa, yaitu lembaga untuk mendidik jiwa, dengan mengendalikan hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan fisik dan psikologis.
g.      Haji, yaitu lembaga pemersatu dalam komunikasi umat secara keseluruhan.
h.      Ihsan, yaitu lembaga yang melengkapi dan meningkatkan serta menyempurnakan amal dan ibadah manusia.
i.        Ikhlas, yaitu lembaga pendidikan rasa dan budi sehingga tercapai suatu kondisi kenikmatan dalam ibadah dan beramal.
j.        Takwa, yaitu lembaga ynag menghubungkan antara manusia dan Allah SWT. Sebagai suatu cara untuk membedakan tingkat dan derajat manusia.
2.      Lembaga yang Dapat Berubah
Lembaga yang dapat berubah adalah susutu yang didalamnya berkaitan dengan manusia itu sendiri dengan pola tingkah laku yang didalamnya menjadi sebuah acuan yang untuk memutuskan segala sesuatu dengan hasil musyawarah atau melalui ijtihad yang dilakukan manusia sehingga bisa dapat berubah-ubah karena bukan berasal dari Allah.
a.       Ijtihad, yaitu lembaga berpikir sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam merumuskan suatu keputusan masalah,
b.      Fikih, yaitu lembaga hukum islam yang diupayakan oleh manusia melalui lembaga ijtihad,
c.       Akhlak, yaitu lembaga nilai-nilai tingkah laku yang dibuat acuan oleh sekolompok masyarakat dalam pergaulan,
d.      Lembaga Ekonomi, yaitu lembaga yang mengatur hubungan ekonomi masyarakat dengan mencangkup segala aspeknya,
e.       Lembaga pergaulan social
f.       Lembaga Politik
g.      Lembaga Seni
h.      Lembaga Negara
i.        Lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi
j.        Lembaga Pendidikan
Dengan demikian, lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permanen ataupun yang berubah-ubah.
B.     Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk lembaga islam apa pun dalam islam harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lembaga yang lainya tidak terjadi tumpang-tindih.
Prisip-prinsip Islam itu adalah:
1.      Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api neraka (QS.at-Tahrim: 6).
2.      Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang ememiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang senantiasa memanjatkan doa sehari-harinya (QS. Al-Baqarah: 201, al-Qashas: 77).
3.      Prinsip pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan diri pada Khaliknya. Keyakinan dan keimanan sebagai penyuluh terhadap hal budi yang sekaligus mendasar ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budi (QS. Al-Mujadilah: 11).[3]
4.      Prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan (QS. Ali Imran: 104, 110).
5.      Prinsip pengembangan daya piker, daya nalar, daya rasa sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsanya.
C.    Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam
            Sebelum memasuki siapa yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan lembaga pendidikan islam, lebih baik kita melihat pendapat para ahli dalam merumuskan penanggung jawab penyelenggara pendidikan pada umumnya. Seorang akhli filsafat, antropologi, dan fenomena bernama Lavengeld menyatakn bahwa yang bertanggung jawab di atas menyelenggarakan pendidikan adalah:
1.      lembaga keluarga yang mempunyai wewenang bersifat kodrati,
2.      lembaga Negara yang mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang,
3.      lembaga gereja yang mempunyai wewenang berasal dari amanat Tuhan.
            Sebaliknya Ki Hajar Dewantara (RM Soewardi Soerjaningrat) memfokuskan penyelenggarakan lembaga pendidikan dengan Tricentral yang merupakan tempat pergaulan anak didik yang amat penting baginya. Tricentral itu ialah :
1.      Alam keluarga yang membentuk lembaga pendidikan keluarga.
2.      Alam perguruan yang membentuk lembaga pendidikan sekolah,
3.      Alam pemuda yang membentuk lembaga pendidikan masyarakat.[4]
Sementara menurut Sidi Gazalba,[5] yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah:
1.      Rumah Tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usai sekolah. Pendidikanya adalah orang tua, sanak kerabat, famili, saudara-saudra, teman sepermainan, dan kenalan pergaulan,
2.      Sekolah, yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidikan adalah guru yang profesional,
3.      Kesatuan sosial, yaitu pendidikan tersier yang merupakan pendidikan yang terakhir tapi bersifat permanen. Pendidikannya adalah kebudayaan, adat istiadat, dan suasana masyarakat setempat.
Islam  juga mengajarkan untuk amar ma’aruf (tindakan proaktif) dan nahi munkar ( tindakan reaktif) terhadap lingkungan sekitarnya (QS.ali Imran: 104, 110). Ajaran ini berimpilkasi kan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, yang mencangkup tanggung jawab keluarga, sekolah, pemerintah, dan lingkungan sosial.
Ada beberapa wujud pendidikan islam dalam bahasan kali ini, penulis memilih lembaga keluarga, masjid/musolah, pondok pesantren dan madrasah.
D.    Keluarga Sebagai Pendidikan Islam
Dalam Islam, Keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga (kawula dan warga) dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Intinya keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah, dan ibu mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga  melalui pemanfaatan karunia Allah SWT. Di muka bumi (QS. al-Jumu’ah: 10) dan selanjutnya di nafkahkan  pada anak dan istrinya (QS. al-Baqarah: 228-233). Dan kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara, dan mengelola keluarga dirumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya.
Anak merupakan amanat Allah SWT. bagi kedua orang tuanya. Ia mempunyai jiwa yang suci dan cemerlang, apabila sejak kecil di didik dan di latih dengan kebaikan dengan kontinu maka ia akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, namun juga bisa sebaliknya apabila seorang anak di didik dengan kebiasan yang buruk akan ia akan tumbuh dengan kebiasan perbuatan yang buruk pula.
Oleh karena itu, dalam keluarga perlu dibentuk lembaga pendidikan, karena keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.  Hal tersebut karena kewajiban mendidik anak merupakan naluri paedagogis bagi setiap individu yang mengingikan anaknya lebih baik daripada keadaan dirinya, sehingga perilaku pedidikan sebagai akibat naluri untuk melanjutkan dan mengembangkan keturunannya.[6]
Dalam penanam hidup beragama, fase kanak-kanak merupakan fase yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama. Teknik yang paling tepat  dalam proses pendidikan adalah dengan teknik imitasi (al-qudwa), yaitu proses pembinaan anak secara tidak langsung, yaitu ayah dan ibu membiasakan hidup rukun, istiqamah melakukan ibadah baik dirumah, dimasjid ataupun ditempat lainnya sambil mengajak anak supaya anak mampu mengikuti dan meniru  hal-hal yang dilakukan orang tuanya, sekaligus si anak juga memperoleh ilmu pengetahuan serta memperoleh pendidikan moral dan sikap mental.
Dengan demikian, orang tua dituntut untuk menjadi pendidik yang memberikan pengetahuan pada anak-anaknya, serta memberikan sikap dan ketrampilan yang memadai, memimpin keluarga, dan mengatur kehidupannya, memberikan contoh sebagai keluarga yang ideal, dan bertanggung jawab dalam kehidupan keluarga, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.[7]
Dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak didik dari orang tuanya adalah:
1.      Dasar pendidikan budi pekerti, member norma pandangan hidup tertentu walaupun masih dalam bentuk yang sederhana kepada anak didik.
2.      Dasar pendidikan sosial, melatih anak dalam tata cara pergaulan yang baik dalam lingkungan sekitar.
3.      Dasar pendidikan Intelek, anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur bahasa yang baik, kesenian yang disajikan dalam bentuk permainan.
4.      Dasar pembentukan kebiasan, pembinaan kepribadian yang baik dan wajar.
5.      Dasar pendidikan kewarganegaraan, memberikan norma nasionalisme dan patriotism, cinta tanah air, dan berperi kemanusiaan yang tinggi,[8]
6.      Dasar pendidikan agama, melatih dan membiasakan ibadah kepada Allah SWT., sembari meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaan anaknya kepada-Nya.
Hasil pendidikan yang disampaikan oleh ayah dan ibu memiliki corak yang berbeda. Perbedaan itu dapat kita lihat sebagai berikut:
·         Ayah
Ayah merupakan sumber kekuasaan yang memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan, sehingga menghasilkan kecerdasan intelektualnya.
·         Ibu
Seorang ibu mempunyai peran utama dalam pembinaan dan pendidikan anak-anaknya di keluarga, karena ibu sumber kasih sayang yang memberikan pendidikan sifat ramah tamah, asah, asih dan asuh kepada anaknya. Dan ibu merupakan sebagi pendidik bidang emosi anak yang dapat mendidik anaknya berupa kepakaan daya rasa dalam memandang sesuatu, yang melahirkan kecerdasan emosional.
E.     Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di masjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan suatu lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya.
Al-‘Abdi[9] menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Karena itu, masjid merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah sampai ke jenjang sekolah tinggi.
Fungsi masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1.      Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
2.      Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “I’tikaf ilmiah”.
3.       Ruang kuliah, baik digunakan untuk traning (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut dengan Sekolah Masjid[10]. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum.
4.      Apabila memungkinkan, teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khatib dengan para audien, terjadi dialog
5.      aktif satu sama lain, sehingga situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik dialog (hiwar) dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi persyaratan sebagai berikut:
·         Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan.
·         Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau kaum cendikiawan, sehingga hanya memungkinkan di masjid perkotaan, pesantren dan masjid kampus.
·          Diperlukan khatib (moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik.
·         Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh sebelumnya para audien sudah siap terlibat langsung.
·         Masalah yang dibahas harus masalah yang waqi’iyah, yakni masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat Idul Fitri, Idul Adha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku.
Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersiafat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[11]
F.     Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “Kuttab” (pondok pesantren). Pondok Pesantren, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya pondok pesantren mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.
Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren” yaitu suatu lemabaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:[12]
1.      Tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.      Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan serogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan bendungan, sedangkan di Sumatera digunakan istilah halaqah.[13]
1.      Metode wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
2.      Metode serogan. Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenari kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan  istilah “kitab kuning”.[14]
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:
1.       Mulai akrab dengan metodelogi modern.
2.      Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3.      Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kyai tidak absolute, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
4.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1.      Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);
2.      Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;
3.      Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;
4.       Lulusan pondok pesantren diberikan ijazah sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
G.    Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.
Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui Madrasah Nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065 M. Selanjutnya, Gibb dan Kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:[15]
·         Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam;
·         Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah;
·         Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
·         Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran, al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana yang benar-benar menenuhi elemen-elemen institusi secara sempurna, yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Frank P. Besag dan Jack L. Nelson menyatakan elemen institusi sekolah terdiri atas tujuh macam, yaitu:
1.      Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga sekolah diharapkan memberi kontribusi terhadap  tuntutan masyarakat yang ada, tuntutan kelembagaan sendiri dan aktor.
2.      Actor (pelaku). Actor berperan dalam pelaksanaan tujuan dan fungsi kelembagaan, sehingga actor tersebut mempunyai status dalam institusi tempat ia berada.
3.      Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar dengan bebrerapa bentuk dan hubungan-hubungannya antar-aktor.
4.      Share in society (tersebar dalam masyarakat). Institusi memberikan seperangkat nilai, ide, dan sikap dominan dalam masyarakat, serta mempunyai hubungan-hubungan dengan institusi lain, baik terhadap sistem politik, ekonomi masyarakat, kebudayaan, pengetahuan, dan kepercayaan.
5.      Sanction (sanksi). Institusi memberikan penghargaan dan hukuman bagi actor. Wewenang sanksi diperlakukan bila berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tempat institusi berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai dengan ukurannya.
6.      Ceremony (upacara, ritus, dan simbol). Upacara dalam pendidikan dilakukan sebagai pengikat tentang status, pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda.
7.      Resistance to change (menentang perubahan). Institusi didirikan untuk tujuan sosial tertentu, sehingga ia hidup dengan cara tertentu pula. Oleh karena itu, actor sering khawatir melakukan kesalahan, walaupun hal-hal yang dilakukan mengandung inovasi positif. Perubahan yang terjadi akan menjadi sorotan masyarakat.




























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga sosial, baik yang permanen ataupun yang berubah-ubah. Ada beberapa wujud pendidikan islam dalam bahasan kali ini memilih lembaga keluarga, masjid/musalah, pondok pesantren dan madrasah.
Ada beberapa jenis lembaga pendidikan Islam, misalnya:
1.      Keluarga adalah lembaga pendididkan pertama yang kita kenal dan yang menjadi pendidik dalam keluarga adalah orang tua.
2.      Masjid adalah tempat untuk melakukan ibadah, selain itu juga masjid digunakan sebagai tempat belajar (pendidikan).
3.       Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang mana didalamnya terdapat kyai sebagai pendidik, santri sebagai peserta didik, masjid sebagai tempat untuk melaksanakan pendidikan dan asrama sebagai tempat tinggal santri.
4.      Madrasah adalah lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.

















DAFTAR PUSTAKA

Mujib Abdul, Mudzakkir Jusuf, 2010, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Roqib Moh, 2009, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS
Bqwidianita. Blogspot.co.id/2012/10/jenis-jenis lembaga pendidikan islam.html






























[1]  Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisus, 1988,), hlm. 144.
[2]  Tim Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, (Jakarta: P3AI-PTU,1988), hlm. 108.
[3] Arifin HM, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu tinjauan teoritis dan Praktis. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). hlm. 39-40.
[4]  Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Renika Cipta, 1991), hlm. 171-172.
[5] Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, (Jakarta: Bhratara, 1970), hlm. 26-27.
[6] Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan, Saduran dari Crow and Crow, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1976), hlm. 112-113.
[7] Tim Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta: P3AI-PTU,1984), hlm.179.
[8] Ali Saifullah, Pendidkan, Pengajaran dan Kebudayaan. (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hlm. 111.
[9] Muhammad Athiyah al-Abrasi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Talim, (Saudi Arabiya: Dar al-Ahya’, tt.), hlm. 59.
[10] Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 59.
[11] Abuddin nata. Op. Cit., hlm. 195.
[12] Arifin HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm.248.
[13] Tim Depag RI., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta: Diotjen Bimas, 1983), hlm. 8
[14] Muhammad Thoclhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial-Budaya. (Jakarta: Gelasa Nusantara, 1987), hlm. 103-104.
[15] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar