BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Islam adalah doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah
SWT. kepada hamba-Nya melalui para Rasul. Oleh karena itu Islam itu memiliki
sifat yang universal ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah
pendidikan. Karena pendidikan islam merupakan salah satu displin ilmu keislaman
yang membahas ojek-objek diseputar pendidikan.
Maka dari itu terpentuklah kelembagaan pendidikan dalam
islam yang memiliki prinsip-prinsip, tanggung jawab dalam pendidikan islam yang
meliputi:
1.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam yaitu: ayah
serta ibu.
2.
Masjid sebagai lembaga pendidikan Islam.
3.
Pondok Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam.
- Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Lembaga Pendidikan Islam?
2.
Apa saja Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam?
3.
Apa Peran dari Lembaga Pendidikan Islam?
- TUJUAN
1.
Mampu memahami pengertian lembaga pendidikan islam
2.
Mengetahui apa saja prinsip-prinsip lembaga pendidikan
islam
3.
Mengetahui peran dari lembaga pendidikan islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kelembagaan Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan islam termasuk masalah social, sehingga
dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga-lembaga social yang ada. Maksud
lembaga social adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas
pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi yang terarah dalam mengikat
individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan
social dasar.[1]
Secara konsep, lembaga social tersebut tertidiri
atas tiga bagian yaitu:[2]
1. Asosiasi,
misalnya universitas atau persatuan,
2. Organisasi
khusus, misalnya rumah sakit dan sekolah,
3. Pola
tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan atau pola hubungan social yang
mempunyai tujuan tertentu.
Dalam Islam, pola tingkah laku yang
telah melembaga pada jiwa setiap individu muslim mempunyai dua bagian, yaitu
lembaga yang tidak dapat berubah dan lembaga yang dapat berubah.
a. Lembaga
yang Tidak Dapat Berubah
1. Rukun
Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia kepada Tuhan, Malaikat, Kitab, Rasul,
Hari Kiamat, dan Takdir.
2. Ikrar
keyakinan (bacaan syahadatain), yaitu lembaga yang merupakan pernyataan atas
kepercayan manusia.
3. Thaharah,
yaitu lembaga penyucian manusia dari segala kotoran, baik lahir maupun batin.
4. Shalat,
yaitu lembaga pembentukan pribadi-pribadi yang dapat membantu dan menemukan
pola tingkah laku untuk membangun atas dasar kesejahahteraan umat dan mencegah
perbuatan fakhsya’ wal munkar.
5. Zakat,
yaitu lembaga pengembangan ekonomi umat, serta lembaga untuk menghilangkan
stratifikasi status ekonomi masyarakat yang tiak seimbang.
6. Puasa,
yaitu lembaga untuk mendidik jiwa, dengan mengendalikan hawa nafsui dan
kecenderungan-kecenderungan fisik dan psikologis.
7. Haji,
yaitu lembaga pemersatu dalam komunikasi umat secara keseluruhan.
8. Ihsan,
yaitu lembaga yang melengkapi dan meningkatkan serta menyempurnakan amal dan
ibadah manusia.
9. Ikhlas,
yaitu lembaga pendidikan rasa dan budi sehingga tercapai suatu kondisi
kenikmatan dalam ibadah dan beramal.
10. Takwa,
yaitu lembaga ynag menghubungkan antara manusia dan Allah SWT. Sebagai suatu
cara untk membedakan tingkat dan derajat manusia.
b. Lembaga
yang Dapat Berubah
1. Ijtihad,
yaiotu lembaga berpikir sbagai upaya yang sungguh-sungguh dalam merumuskan
suatu keputusan masalah,
2. Fikih,
yaitu lembaga hokum isla yang diupayakan oleh manusia melalui lembaga ijtihad,
3. Akhlak,
yaitu lembaga nilai-nilai tingkah laku yang dibuat acuan oleh sekolompok
masyarakat dalam pergaulan,
4. Lembaga
Ekonomi, yaitu lembaga yang mengatur hubungan ekonomi masyarakat dengan
mencangkup segala aspeknya,
5. Lembaga
pergaulan social
6. Lembaga
Politik
7. Lembaga
Seni
8. Lembaga
Negara
9. Lembaga
ilmu pengetahuan dan teknologi
10. Lembaga
Pendidikan
Dengan
demikian, lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan
untuk mengembangkan lembaga-lembaga social, baik yang permanen ataupun yang
berubah-ubah.
B. Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk lembaga islam apa pun dalam islam harus
berpijak pada prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati sebelumnya,
sehingga antara lembaga satu dengan lembaga yang lainya tidak terjadi
tumpang-tindih.
Prisip-prinsip
Islam itu dalah:
1. Prinsip
pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia pada api
neraka (QS.at-Tahrim: 6).
2. Prinsip
pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang ememiliki keselarasan dan
keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagai realisasi cita-cita
bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang senantiasa memanjatkan doa
sehari-harinya (QS. Al-Baqarah: 201, al-Qashas: 77).
3. Prinsip
pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan
ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan diri pada Khaliknya.
Keyakinan dan keimanan sebagai penyuluh terhadap hal budi yang sekaligus
mendasar ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal
budi (QS. Al-Mujadilah: 11).[3]
4. Prinsip
amar ma’ruf dan nahi munkar dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu
kenistaan (QS. Ali Imran: 104, 110).
5. Prinsip
pengembangan daya piker, daya nalar, daya rasa sehingga dapat menciptakan anak
didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsanya.
C. Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam
Sebelum memasuki siapa yang bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan lembaga pendidikan islam, lebih baik kita melihat
pendapat para ahli dalam merumuskan penanggung jawab penyelenggara pendidikan
pada umumnya. Seorang akhli filsafat, antropologi, dan fenomena bernama
Lavengeld menyatakn bahwa yang bertanggung jawab di atas menyelenggarakan
pendidikan adalah: (1)lembaga keluarga yang mempunyai wewenang bersifat
kodrati; (2)lembaga Negara yang mempunyai wewenang berdasarkan
undang-undang;dan (3)lembaga gereja yang mempunyai wewenang berasal dari amanat
Tuhat.
Sebaliknya Ki Hajar
Dewantara (RM Soewardi Soerjaningrat) memfokuskan penyelenggarakan lembaga
pendidikan dengan Tricentral yang
merupakan tempat pergaulan anak didik yang amat penting baginya. Tricentral itu
ialah :
1. Alam
keluarga yang membentuk lembaga pendidikan keluarga.
2. Alam
perguruan yang membentuk lembaga pendidikan sekolah,
3. Alam
pemuda yang membentuk lembaga pendidikan masyarakat.[4]
Sementara menurut Sidi Gazalba,[5]
yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah:
1. Rumah
Tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai
usai sekolah. Pendidikanya adalah orang tua, sanak kerabat, family,
saudara-saudra, teman sepermainan, dan kenlan pergaulan,
2. Sekolah,
yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah
sampai ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidikan adalah guru yang
professional,
3. Kesatuan
social, yaitu pendidikan tersier yang merupakan pendidikan yang terakhir tapi
bersifat permanen. Pendidikannya adalah kebudayaan, adat istiadat, dan suasana
masyarakat setempat.
Islam juga mengajarkan untuk amar ma’aruf (tindakan
proaktif) dan nahi munkar ( tindakan reaktif) terhadap lingkungan sekitarnya
(QS.ali Imran: 104, 110).Ajaran ini berimpilkasi kan bahwa pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama, yang mencangkup tanggung jawab keluarga, sekolah,
pemerintah, dan lingkungan social.
Ada beberapa wujud pendidikan islam dalam bahasan
kali ini, penulis memilih lembaga keluarga, masjid/musalah, pondok pesantren
dan madrasah.
D. Keluarga Sebagai Pendidikan Islam
Dalam Islam, Keluarga dikenal dengan istilah usrah,
nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga (kawula dan warga) dalam pandangan antropologi
adalah suatu kesatuan social terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai
makhluk social yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama
ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Intinya
keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah, dan ibu
mempunyai kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda
kodrat. Ayah berkewajiban mencari
nafkah untuk keluarga melalui
pemanfaatan karunia Allah SWT. Di muka bumi (QS. al-Jumu’ah: 10) dan
selanjutnya dinafkahkan pana anak dan
istrinya (QS. al-Baqarah: 228-233). Dan kewajiban ibu adalah menjaga,
memelihara, dan mengelola keluarga dirumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan
merawat anaknya.
Anak merupakan amanat Allah SWT. bagi kedua orang
tuanya. Ia mempunyai jiwa yang suci dan cemerlang, apabila sejak kecil dididik
dan dilatih dengan kebaikan dengan kontinu maka ia akan tumbuh dan berkembang
menjadi anak yang baik, namun juga bisa sebaliknya apabila seorang anak dididik
dengan kebiasan yang buruk akan ia akan tumbuh dengan kebiasan perbuatan yang
buruk pula.
Oleh karena itu, dalam keluarga perlu dibentuk
lembaga pendidikan, karena keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan
utama. Hal tersebut karena kewajiban
mendidik anak merupakan naluri paedagogis
bagi setiap individu yang mengingikan anaknya lebih baik daripada keadaan
dirinya, sehingga perilaku pedidikan sebagai akibat naluri untuk melanjutkan
dan mengembangkan keturunannya.[6]
Dalam penanam hidup beragama, fase kanak-kanak
merupakan fase yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama.
Teknik yang paling tepat dalam proses
pendidikan adalah dengan teknik imitasi (al-qudwa),
yaitu proses pembinaan anak secara tidak langsung, yaitu ayah dan ibu
membiasakan hidup rukun, istiqamah melakukan
ibadah baik dirumah, dimasjid ataupun ditempat lainnya sambil mengajak anak
supaya anak mampu mengikuti dan meniru
hal-hal yang dilakukan orang tuanya, sekaligus si anak juga memperoleh
ilmu pengetahuan serta memperoleh pendidikan moral dan sikap mental.
Dengan demikian, orang tua dituntut untuk menjadi
pendidik yang memberikan pengetahuan pada anak-anaknya, serta memberikan sikap
dan ketrampilan yang memadai, memimpin keluarga, dan mengatur kehidupannya,
memberikan contoh sebagai keluarga yang ideal, dan bertanggung jawab dalam
kehidupan keluarga, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.[7]
Dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak
didik dari orang tuanya adalah:
a. Dasar
pendidikan budi pekerti, member norma pandangan hidup tertentu walaupun masih
dalam bentuk yang sederhana kepada anak didik.
b. Dasar
pendidikan social, melatih anak dalam tata cara pergaulan yang baik dalam
lingkungan sekitar.
c. Dasar
pendidikan Intelek, anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur
bahasa yang baik, kesenian yang disajikan dalam bentuk permainan.
d. Dasar
pembentukan kebiasan, pembinaan kepribadian yang baik dan wajar.
e. Dasar
pendidikan kewarganegaraan, memberikan norma nasionalisme dan patriotism, cinta
tanah air, dan berperikemanusiaan yang tinggi,[8]
f. Dasar
pendidikan agama, melatih dan membiasakan ibadah kepada Allah SWT., sembari
meningkatkan aspek keimanan dan ketakwaan anaknya kepada-Nya.
Hasil
pendidikan yang disampaikan oleh ayah dan ibu memiliki corak yang berbeda.
Perbedaan itu dapat kita lihat sebagai berikut:
·
Ayah
Ayah
merupakan sumber kekuasaan yang memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen
dan kepemimpinan, sehingga menghasilkan kecerdasan intelektualnya.
·
Ibu
Seorang ibu mempunyai
peran utama dalam pembinaan dan pendidikan anak-anaknya di keluarga, karena ibu
sumber kasih sayang yang memberikan pendidikan sifat ramah tamah, asah, asih
dan asuh kepada anaknya. Dan ibu merupakannsebagi pendidik bidang emosi anak
yang dapat mendidik anaknya berupa kepakaan daya rasa dalam memandang sesuatu,
yang melahirkan kecerdasan emosional.
E. Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam tingkat pemula lebih baikdilakukan di masjid nsebagai lembaga
pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan suatu lingkaran
(lembaga) dan ditumbuhkannya.
Al-‘Abdi[9]menyatakan
bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Karena itu,
masjid merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga, yang
jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah sampai ke jenjang sekolah tinggi.
Fungsi
masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas
terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai
berikut:
1. Perpustakaan, yang menyediakan
berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk
berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal
dengan istilah “I’tikaf ilmiah”.
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk traning
(tadrib) remaja masjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi
istilah ruang kuliah tersebut dengan Sekolah Masjid[10].
Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk
membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim
dibandingkan dengan proporsi materi umum.
4. Apabila memungkinkan, teknik khotbah
dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khatib dengan
para audien, terjadi dialog
5. aktif satu sama lain, sehingga
situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik dialog (hiwar)
dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
·
Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan.
·
Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau
kaum cendikiawan, sehingga hanya memungkinkan di masjid perkotaan, pesantren
dan masjid kampus.
·
Diperlukan khatib
(moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat
mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik.
·
Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh
sebelumnya para audien sudah siap terlibat langsung.
·
Masalah yang dibahas harus masalah yang waqiyah, yakni
masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang
dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan
informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat
dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat
Idul Fitri, Idul Adha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah tersebut
terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran
masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari sejumlah
kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran studi) yang
dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam
dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian
rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku.
Kedua,
peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan.
Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di
masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersiafat
amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di
masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam
melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[11]
F. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan,
sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga
pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “kuttab” (pondok pesantren).
Kuttab, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan
Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem
wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat karena
didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang
harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.
Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal dengan
istilah “pondok pesantren” yaitu suatu lemabaga pendidikan Islam yang di
dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para
santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokon atau
asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren
adalah:[12]
a. Tujuan umum, yaitu membimbing anak
didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu
agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu
dan amalnya.
b. Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan
para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai
yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok
pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu
model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan serogan.
Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan benndungan, sedangkan
di Sumatera digunakan istilah halaqah.[13]
1. Metode wetonan (halaqah).
Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam
waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri
mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses
belajar mengaji secara kolektif.
2. Metode serogan. Metode yang
santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada
kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenari
kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren
adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu
sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis,
tafsir Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut
memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan
istilah “kitab kuning”.[14]
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya
didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi
terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:
1. Mulai akrab dengan metodelogi modern.
2. Semakin berorientasi pada pendidikan
yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3. Diversifikasi program dan kegiatan
makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak absolute, dan sekaligus
dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran
agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja
4. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan
masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi
kultur, sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno)
kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai
jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus
transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan
yang drastis, misalnya:
a. Perubahan sistem pengajaran dari
perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal
dengan istilah madrasah (sekolah);
b. Pemberian pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;
c. Bertambahnya komponen pendidikan
pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan
agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;
d. Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah
(ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah
tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
G. Madrasah Sebagai Lembaga Pendidiakan Islam
Madrasah
adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau
tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, ilmu pengetahuan pada
umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di
seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di
dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.
Sebagian
ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani
Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui Madrasah Nidzamiah yang
didirikannya pada tahun 1065 M. Selanjutnya, Gibb dan Kramers
menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah
al-Din al-Ayyubi.
Kehadiran
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar
belakang, yaitu:[15]
·
Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem
pendidikan Islam;
·
Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu
sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh
kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan
kerja dan perolehan ijazah;
·
Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam,
khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka; dan
·
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari
hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika
pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat
madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran,
al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga
terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari
tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana yang
benar-benar menenuhi elemen-elemen institusi secara sempurna, yang tidak
terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Frank P. Besag dan Jack
L. Nelson menyatakan elemen institusi sekolah terdiri atas tujuh macam,
yaitu:
1. Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu
lembaga sekolah diharapkan memberi kontribusi terhadap tuntutan masyarakat yang ada, tuntutan
kelembagaan sendiri dan aktor.
2. Actor (pelaku). Actor berperan dalam
pelaksanaan tujuan dan fungsi kelembagaan, sehingga actor tersebut mempunyai
status dalam institusi tempat ia berada.
3. Organisasi. Organisasi dalam institusi
tergambar dengan bebrerapa bentuk dan hubungan-hubungannya antar-aktor.
4. Share in
society (tersebar
dalam masyarakat). Institusi memberikan seperangkat nilai, ide, dan sikap
dominan dalam masyarakat, serta mempunyai hubungan-hubungan dengan institusi
lain, baik terhadap sistem politik, ekonomi masyarakat, kebudayaan,
pengetahuan, dan kepercayaan.
5. Sanction (sanksi). Institusi memberikan
penghargaan dan hukuman bagi actor. Wewenang sanksi diperlakukan bila
berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tempat institusi
berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai dengan ukurannya.
6. Ceremony (upacara, ritus, dan simbol).
Upacara dalam pendidikan dilakukan sebagai pengikat tentang status,
pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda.
7. Resistance to change (menentang
perubahan). Institusi didirikan untuk tujuan sosial tertentu, sehingga ia hidup
dengan cara tertentu pula. Oleh karena itu, actor sering khawatir melakukan
kesalahan, walaupun hal-hal yang dilakukan mengandung inovasi positif.
Perubahan yang terjadi akan menjadi sorotan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Lembaga
pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk
mengembangkan lembaga-lembaga sosial,
baik yang permanen ataupun yang berubah-ubah. Ada
beberapa wujud pendidikan islam dalam bahasan kali ini memilih lembaga
keluarga, masjid/musalah, pondok pesantren dan madrasah.
Ada
beberapa jenis lembaga pendidikan Islam, misalnya:
1.
Keluarga
adalah lembaga pendididkan pertama yang kita kenal dan yang menjadi pendidik
dalam keluarga adalah orang tua.
2.
Masjid
adalah tempat untuk melakukan ibadah, selain itu juga masjid digunakan sebagai
tempat belajar (pendidikan).
3.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang mana didalamnya
terdapat kiai sebagai pendidik, santri sebagai peserta didik, masjid sebagai
tempat untuk melaksanakan pendidikan dan asrama sebagai tempat tinggal santri.
4.
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib Abdul,
Mudzakkir Jusuf, 2010, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada
Media
Roqib Moh, 2009,
Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS
Bqwidianita.
Blogspot.co.id/2012/10/jenis-jenis lembaga pendidikan islam.html
[1] Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisus, 1988,), h. 144.
[2] Tim Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, (Jakarta: P3AI-PTU,1988), H.
108.
[3]
Arifin HM, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu tinjauan teoritis dan Praktis.
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991). H. 39-40.
[4] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Renika Cipta, 1991), h. 171-172.
[5]
Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan
Nasib Umat, (Jkarta: Bhratara, 1970), h. 26-27.
[6]
Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan,
Saduran dari Crow and Crow, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1976), h. 112-113.
[7]
Tim Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu
Pendidikan, (Jakarta: P3AI-PTU,1984), h 179.
[8]
Ali Saifullah, Pendidkan, Pengajaran dan Kebudayaan. (Surabaya: Usaha Nasional,
1989), h. 111.
[9]
Muhammad Athiyah al-Abrasi, Ruh
al-Tarbiyah wa al-Talim, (Saudi Arabiya: Dar al-Ahya’, tt.), h. 59.
[10]
Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 59.
[11]
Abuddin nata. Op. Cit., hml. 195.
[12]
Arifin HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), h 248.
[13]
Tim Depag RI., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta: Diotjen Bimas,
1983), h. 8
[14]
Muhammad Thoclhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial-Budaya. (Jakarta: Gelasa
Nusantara, 1987), h. 103-104.
[15]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar