Minggu, 12 Maret 2017

Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

                                                          BAB 1
PENDAHULUAN

1.1             Latar Belakang
Al-Qur’an harus dipelajari secara mendalam, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah yang dijadikan pedoman dalam setiap tindakan umat manusia. Bahasa Al-Qur’an ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih) hingga dalam penafsiran Al-Qur’an terdapat perbedaan diantara keduanya.
      Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an khususnya dalam materi muhkam dan mutasyabih, maka dalam pembahasan ini akan dijelaskan secara rinci. Muhkam adalah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya dapat dipahami dengan mudah, memiliki satu pengertian saja, dapat diketahui secara langsung dan tidak memerlukan keterangan lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang mengandung pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam.

1.2            Rumusan Masalah
Memahami muhkam dan mutasyabih perlu adanya rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut yaitu :
1.      Apa pengertian muhkam dan mutasyabih?
2.      BagaimanasejarahmuhkamdanMutasyabih?
3.      Apasajajenis-jenismuhkamdanmutasyabih?
4.      Bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih?
5.      Apa hikmah dari adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih?

1.3            Tujuan
Mempelajari muhkam dan mutasyabih mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Dapat mengetahui pengertian dari muhkam dan mutasyabih
2.      Mengetahuisejarahmuhkamdanmutasyabih
3.      Mengetahuijenis-jenismuhkamdanmutasyabih
4.      Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan  mutasyabih
5.      Dapat memahami hikmah dari adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih.
                          BAB II

              PEMBAHASAN



A.   Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam atau ihkam secara etimologis adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan, sesuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan tidak membutuhkan kepada yang  lain. Muhkam merupakan derivasi dari kata hakama dengan pengertian mana’a melarang untung kebaikan. Dikatakan binaun mu’kam yang berarti bangunan yang aman dari roboh.[1] Sedang al-hukm berarti memutuskan antara dua perkara. Al-hakim adalah orang mencegah terjadinya kezaliman, memisahkan antara dua pihak yang berperkara, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan antara yang jujur dan yang bohong.[2]
Al-Qur’an seluruhnya muhkam dalam arti seluruh ayat-ayat Al-Qur’an itu kokoh, fasih, indah dan jelas, membedakan antara hak dan batil dan antara yang benar dan dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘am atau muhkam dalam arti umum.[3]
Mutasyabuh secara etimologis berasal dari kata syabaha-asy-syibhu-asy-syabahu-asy-syabihu, hakikatnya adalah keserupaan, misalnya dari segi warna, rasa, keadilan dan kezaliman. Apabila antara dua hal tidak bisa dibedakan karena ada kemiripan (tasyabuh) antara keduanya maka disebut asy-syubhah. Misalnya tentang buah-buahan di surge (wa utu bihi mutasyabiha-mereka diberi buah-buahan yang serupa-Q.S Al-Baqarah 2:25). Buah-buahan di surga itu satu sama lain serupa warnanya , bukan rasa dan hakikatnya.
Dari uraian secara etimologis di atas jelaslah bahwa Al-Qur’an seluruhnya adalah muhkam dan mutasyabih. Tidak demikian halnya jika kita menilainya dari segi terminologis, karena sebagian ayat-ayat Al-Qur’an muhkamat dan sebagaian lagi mutasyabiha.
Secara terminologis ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang terang dan tegas, maksudnya, dapat dipahami dengan mudah, memiliki satu pengertian saja, dapat diketahui secar langsung, tiddak memerlukan lagi keterangan lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, tidak dipahami kecuali setelah dikaitkan dengan ayat lain, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Alloh yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka, dan lain-lain.
Muhkam ialah yang menunjukkan kepada maknanya dengan terang, sedikitpun tidak ada yang tersembunyi padanya. Sedang mutasyabih ialah yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk kepada maknanya.[4] Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti bahwa; muhkam adalah yang jelas diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas ataupun dengan cara ta’wil. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Alloh seperti kedatangan hari kiamat dan maksud dari huruf-huruf terpisah yang terdapat pada beberapa awal surah.[5]
B.   Sejarah Muhkam dan Mutasyabih  
Secara tegas dapat di katakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ialah dari Alloh SWT. Alloh SWT memisahkan atau membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabih. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yg muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an, dan yang lain ayat-ayat mutasyabih (Q.S.Ali Imron:7)
Dari ayat tersebut, jelas Alloh SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas, yakni sebagaimana ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imron di atas. Di samping itu, Al-Qur’an merupakan kitab yang muhkam, seperti keterangan ayat 1 surah Hud:
Artinya:”Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi”.
Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Al-Qur’an itu rapi dan urut, sehingga dapat di pahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan tidak samar artinya, di sebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna akal pikiran.

Tetapi sebab adanya ayat-ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an ialah karena adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayatNya sehingga sulit di pahami umat, tanpa di katakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa di ta’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknyapun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Alloh.
C.   Jenis Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam dan Mutasyabih masing-masing dapat dibagi kedalam dua kategori,yaitu; muhkam li dzatihi dan muhkam li ghoirihi. Muhkam li dzatihi adalah ayat-ayat yang sudah dinasakh pada masa Rasulullah SAW, sedangkan muhkam li ghoirihi adalah ayat-ayat yang belum dinasakh pada masa Rasulullah SAW.
Mutasyabih juga memiliki dua bentuk, yaitu; mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafal huruf berupa huruf-huruf pada permulaan beberapa surah dalam Al-Qur’an, dan mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat seperti yang terdapat pada aya-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah SWT[6]
D.   Sikap Para Ulama terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah ayat-ayat mutasyabihat dapt diketahui oleh manusia atau tidak, atau hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Perbedaan sikap tersebut disebabkan oleh perbedaan cara membaca surah ali imron ayat 7, lebih khusus lagi tentang dimana kita berhenti membacanya pada potongan ayat tersebut.
Jika berhenti (waqaf) membacanya setelah lafal al-jalalah, maka pengertiannya adalah tidak ada yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat itu kecuali Allah SWT. Tetapi jika membacanya diteruskan, artinya tidak berhenti setelah lafal jalalah, maka pengertiannya menjadi tidak ada yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat itu kecuali Allah SWT dan orang yang mendalam ilmunya.
Menurut Manna’ al-Qaththan, kedua pendapat diatas dapat dikompromikan merinci makna takwil. Takwil bisa untuk menunjukkan tiga hal:
1.      Takwil berarti memalingkan sebuah lafal dari al-ihtimal ar-rajih (makna yang kuat) kepada al-ihtimal al-marjuh (makna yang lemah) karena ada dalil yang menghendakinya.
2.      Takwil berarti tafsir, yaitu menjelaskan lafal-lafal sehingga maknanya dapat dipahami.
3.      Takwil berarti hakikat sesuatu yang disampaikan dalam pembicaraan.


Para ulama yang berpendapat bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya dapat diketahui oleh Allah SWT, memahami takwil sebagai hakikat sesuatu. Misalnya tentang hakikat dzat Allah SWT, bagaimana hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT, tentang hari akhir dan masalah-masalah ghaib lainnya, hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat sebenarnya. Sedangkan para ulama yang memahami bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat oleh orang-orang yang mendalam ilmunya, memahami takwil adalah tafsir yang menjelaskan maksud kata-kata sehingga dapat dipahami.
Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara dua pendapat yaitu antara yang membaca waqaf dan yang menyambungnya, karena perbedaannya kembali pada perbedaan takwil.[7]
E.   Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
Menurut Az-Zarqani, keberadaan ayat-ayat mutasyabihat kelompok pertama, yaitu ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui hakikatnya oleh Allah SWT semata seperti ayat-ayat tentang masalah-maslah yang ghaib, hikmahnya kepada kita yaitu:
1.      Merupakan rahmat Allah SWT bagi umat manusia yang lemah ini, yang tidak sanggup mengetahui segala sesuatu secara keseluruhan.
2.      Sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka akan beriman kepada yang ghaib atau tidak?. Bagi orang-orang yang mendapat petunjuk tentu mereka mengimaninya sekalipun tidak tahu bagaimana hakikatnya. Tetapi bagi orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka akan menolaknya.
3.      Al-Qur’an mencakup dakwah terhadap orang awam dan dakwah terhadap kaum intelektual.
4.      Sebagai bukti akan kelemahan manusia.
5.      Memberi peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Sedangkan untuk ayat-ayat mutsyabihat kelompok kedua dan ketiga, yaitu ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh siapa saja setelah mempelajarinya seperti ayat-ayat yang lafalnya ghorib, mustarak, dan kalimatnya padat, luas atau karena susunan kalimatnya; dan ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh orang awam, tetapi hanya dapat diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya. Diantara hikmah yang dapat kita ambil yaitu:
1.      Memudahkan untuk menghafal dan menjaga Al-Qur’an, karena ungkapan Al-Qur’an yang ringkas, padat dapat memuat berbagai macam segi dan aspek.
2.      Mengungkap ayat-ayat mutasyabihat lebih sulit dan lebih berat, bertambah banyak kesulitan dalam mengungkapkannya semakin menambah banyak pahala yang didapat.
3.       Untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabihat para pengkaji dan peneliti memerlukan bantuan dalil-dalil akal, yang dengan demikian dapat terbebas dari kegelapan taqlid.
4.      Menunjukkan mukjizat Al-Qur’an.



BAB III

A.   KESIMPULAN
Ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah, memiliki satu pengertian saja, dapat diketahui secara langsung, tidak memerlukan lagi keterangan lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib. Misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka.














                                                                         
DAFTAR PUSTAKA
  
Abdullah Mawardi, Ulumul Qur’an, Yogyakarta:PUSTAKA PELAJAR, 2011
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Prof.Dr., Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012
Ilyas Yunahar, Prof.Dr.H, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014
Ichwan Nor Mohammad, M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group,2008





[1]IbnMandzur,Lisan al-‘arab (Beirut: Dar Ihya al-Turatsal’arabi, 1999) juz, 12,  h. 141
[2] Manna al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran (Riyadh: Muassasahar-Risalah)
[3] Manna al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al –Qur’an, hlm. 215.
[4]Hasbi ash-ShiddieqyTeuku Muhammad.2012.Ilmu IlmuAl-Qur’an.Semarang:PT.PustakaRizki Putra.
[5] Abdullah Mawardi.2011.Ulumul Qur’an.Yogyakarta:PustakaPelajar.
[6]Abdullah Mawardi.2011.Ulumul Qur’an.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
[7]Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, halm.218-219

Tidak ada komentar:

Posting Komentar